Friday, July 4, 2008

Indonesia, sambutlah: PEKAN OLAHRAGA NASIONAL XVII 2008

Liga sepakbola di belahan dunia sono sudah selesai (sebagian mungkin masih, tapi tidak terlalu diperhatikan). Pergelaran Piala Eropa baru saja menelurkan juara, yang akan bertahta sampai 4 tahun ke depan. Balap motor Grand Prix dan mobil Formula-1 silih berganti mengisi kalender olahraga dunia, Indonesia, bahkan blog ini. Namun, sadarkan kita semua bahwa perayaan olahraga terbesar di bumi Indonesia akan dilangsungkan esok hari?

Hingar bingar olahraga dunia internasional begitu melenakan kita sebagai penikmat di Indonesia, sehingga walaupun sampai sekarang masih bertaraf sebagai "penonton", bukan "pelaku", kita terus mengikuti, bahkan rela mengadu urat "maju tak gentar membela yang benar" (menurut anggapan masing-masing) demi sesuatu yang mungkin berada jauh di luar jangkauan kita. Dan saat Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII akan digelar di Kalimantan Timur, akankan ada pasang mata sebanyak yang menoleh ke pesta sepakbola Eropa yang baru saja selesai dua minggu lalu itu?

PON tidak bisa dipungkiri merepresentasikan keadaan dunia olahraga Indonesia yang paling sahih, sekaligus menjadi potret pembangunan. Yang pertama mungkin masuk di akal, tapi yang kedua? Sejarah mencatat, bahwa sejak masa pemerintahan "Bapak Pembangunan Indonesia", hanya sekali (dan itu pun di masa-masa awal, dimana keputusan itu mungkin sudah dibuat sebelumnya) PON diadakan di luar Jakarta. Penyelenggaraan pesta olahraga se-Indonesia yang tersentralisasi seperti ini memberikan kesan bahwa pembangunan di masa itu terlalu berpusat di ibukota, sehingga tempat lain tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah. "Menjadi tuan rumah" bukan sekedar "kesempatan", tapi lebih kepada kesiapan sarana dan prasarana kota yang ditunjuk. Jika kota-kota di luar Jakarta tidak mendapat kesempatan, itu artinya karena mereka belum mampu menyiapkan sarana olahraga berskala internasional yang bisa digunakan sebagai sarana berkompetisi guna mendapatkan atlet-atlet berskala internasional yang nantinya akan mampu mengharumkan nama bangsa.

Fenomena yang bisa dikatakan memalukan dalam pelaksanaan acara ini adalah jual-beli pemain. Beberapa daerah (yang terang-terangan) melakukan segala cara untuk dapat menarik atlet yang berpotensi meraih medali ke daerahnya dengan iming-iming bonus jutaan rupiah. Saat ini mungkin penikmat olahraga sudah tidak terlalu memusingkan hal "kecil" seperti ini, karena sudah ada tontonan kelas kakap "Barclaycard Premiership League" (BPL) atau "National Basketball Association" (NBA). Namun di masa lampau, siapa yang pernah lupa akan perjuangan Jawa Barat untuk dapat mempertahankan Susy Susanti dari klaim DKI Jakarta bahwa atlet ini adalah milik mereka? Manajer PON Kaltim, sang tuan rumah, dalam wawancaranya dengan salah satu media olahraga berskala nasional terbesar di Indonesia, mengatakan bahwa untuk PON kali ini, banyak atlet luar daerah (tercatat kurang lebih 250 atlet) bahkan melamar ingin terdaftar menjadi atlet Kaltim. Alasannya? Apalagi kalau bukan bonus yang mencapai 150 juta rupiah per keping medali emas.

Perhatian kita, dalam hal ini rakyat Indonesia, dalam ruang lingkup yang terbatas bisa secara sekilas diliat dari entri ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, wikipedia. Jika dimasukkan kata kunci "pekan olahraga nasional", maka informasi yang didapat sangat terbatas. Bahkan di dalam database wiki, pergelaran PON di masa lampau tidak mendapat porsi yang layak, halaman-halaman tersebut hanya menyajikan informasi seadanya, tanpa data standar seperti juara umum dan cerita singkat beberapa pertandingan yang terjadi. Sudah semakin sedikitkah yang peduli pada perkembangan olahraga dalam negeri?

Mengenai pemilihan waktu PON kali ini, rasanya sudah cukup tepat. Paling tidak, setelah berbagai event besar dunia silih berganti datang dan pergi, kini saatnya insan olahraga nasional sejenak melihat ke dalam, menikmati dan memberikan apresiasi untuk para atlet Indonesia yang berjuang demi daerahnya masing-masing. Tinggal apakah penyelenggara dan para partisipan dapat mengejawantahkan harapan publik dalam negeri, yang ingin memberikan kesempatan sekali lagi, tanpa pernah bosan lagi dan lagi, untuk memberikan suatu pembuktian bahwa olahraga Indonesia bisa dibanggakan dan layak menjadi tontonan yang memuaskan, seperti layaknya tontonan dari luar negeri yang dicekokkan ke mata kita sepanjang tahun ini.


MAJU TERUS OLAHRAGA INDONESIA!

4 comments:

Anonymous said...

Piala Eropa gak menelurkan juara baru dong. Spain kan dah pernah juara tahun 1964. Klo rusia yang juara baru bisa dibilang juara baru (walopun mereka dah pernah juara juga waktu namanya masi USSR).

Steve said...

iyah, tu udah diganti... maksudnya sih juara yang "baru" = gress (biarpun jerman yang juara, kan dia juaranya skrg, brarti baru; yg dulu kan dah lama ;p )

Anonymous said...

Btw, kayaknya spellingnya legenda bulutangkis putri Indonesia adalah 'Susi' Susanti (pake 'i' instead of 'y') - cmiiw.

Steve said...

serba salah itu, kdg liat pake "i", kdg pake "y" (di posting piala thomas-uber, gw pake "i", jd biar adil), kyknya kudu gw tanya lgs ma orgnya...

sayang udh ga segreja lg ma gw :| (jd ga bs tanya)