Friday, May 16, 2008

Thomas-Uber Cup 2008

Baru-baru ini, tepat sebelum pagelaran Piala Thomas-Uber 2008 digelar, ada yang bertanya di satu komunitas olahraga, "Eh, Thomas-Uber sudah mau mulai yah? Siapa saja pemain-pemainnya? Kok nama-namanya cuma sedikit saya yang kenal?"


Alih-alih menjadi penguasa Piala Thomas sampai sekarang (13 kali juara dari keikutsertaan sejak 1958; bisa saja kurang dari itu andaikan Cina tidak baru ikut pada tahun 1982), pemain-pemain Indonesia sekarang "kurang dikenal" oleh rakyat Indonesia, yang menjadikan olahraga ini sebagai satu-satunya olahraga yang mampu berprestasi sampai level tertinggi di dunia internasional. Keringnya prestasi yang diukir pemain-pemain, baik putra maupun putri, menjadi penyebab mengapa nama-nama mereka lebih banyak ditulis di media massa sebagai pecundang daripada pemenang. Juga berita bulutangkis - yang akhirnya sering ditulis seadanya dan kurang mendapat porsi cukup, akibat minim prestasi tadi - semakin terpojokkan dengan berita-berita olahraga lain yang lebih "komersil" seperti sepakbola, balap mobil, basket, sampai reli dan golf.


TIM PIALA THOMAS

Soni Dwi Kuncoro (BWF 6), adalah pemain dengan peringkat tertinggi sehingga menjadi tunggal pertama. Prestasinya sejauh ini "hanya" 3 kali juara Asia, runner-up Kejuaraan Dunia 2007, dan medali perunggu Olimpiade 2004, serta beberapa kali mengalahkan Taufik. Peringkat tertingginya adalah BWF 3 (2004).
Taufik Hidayat (BWF 7), mungkin adalah pemain Indonesia yang paling populer. Prestasinya bisa dikatakan yang paling banyak dari anggota tim lainnya, mungkin hanya bisa disaingi oleh banyaknya gosip infotainment tentangnya. Sejak junior ia telah mencuri perhatian, dengan masuk final All-England di usia yang ke-17, dan menempati BWF 1 di tahun yang sama (1998). Masuk dalam tim Piala Thomas sejak 2000, dan sudah mengangkat piala ini 2 kali (2000, 2002). Ia lebih disorot karena ketidakkonsistenannya, sehingga walaupun mempunyai kemampuan untuk menjadi pemain hebat, ia lebih sering menjadi "pelengkap" dalam sebuah turnamen.
Simon Santoso (BWF 14), adalah pemain yang pernah saya lihat secara langsung saat berlatih, back in 1997 @ Tangkas, Jakarta. Dari awal memang sudah terlihat bahwa tidak ada kegigihan seperti yang diperlihatkan hampir semua seniornya yang waktu itu (dekade 90an, kecuali Haryanto Arbi mungkin) merajai dunia bulutangkis internasional. Walau berharap situasi itu tidak bertahan, namun sampai sekarang, koleksi gelarnya "hanya" berupa turnamen satelit di Vietnam, 2005. Statusnya hanya lebih sering menjadi "pembunuh raksasa", untuk kemudian "dibunuh" oleh kompetitor lainnya. Berharap ia dapat menjadi penentu di saat yang penting.
Tommy Sugiarto (BWF 50). Bicara pemain ini, tidak bisa tidak akan terkait kepada bapaknya, mantan pemain nasional era 80an serta ketua Pengda PBSI DKI Jakarta, Icuk Sugiarto, dan isu nepotisme seputarnya. Dengan prestasi 2 gelar turnamen satelit, wajar jika publik mempertanyakan masuknya Tommy ke dalam tim. Apalagi dengan adanya pemain Indonesia berperingkat lebih tinggi dalam daftar BWF (Andre Kurniawan Tedjono, BWF 33), serta ada 2 pemain WNI yang membela negara lain di atasnya (Ronald Susilo, BWF 27, SIN; Dicky Palyama, BWF 37, NED) yang menunjukkan ada yang salah dalam sistem pembinaan PB PBSI.
Markis Kido/Hendra Setiawan (BWF 1), adalah pasangan yang dapat dibanggakan Indonesia saat ini. Melestarikan tradisi Indonesia sebagai penyumbang ganda putra terbaik di dunia, mereka mampu menjawab tantangan ini, walaupun belum terlalu mendominasi seperti ganda generasi sebelumnya, Chandra Wijaya/Sigit Budiarto atau Chandra/Tony Gunawan.
Hendra Gunawan/Joko Riyadi (BWF 19), cukup mengejutkan karena dipasang sebagai ganda kedua, padahal masih ada Alvent Yulianto/Luluk Hadiyanto (BWF 6), yang pada saat terakhir tidak dimasukkan ke dalam tim dengan alasan hubungan antar mereka yang kurang baik. Semoga mereka juga dapat memberikan kontribusi terbaik bagi tim.
Chandra Wijaya/Nova Widianto (--), bukan pasangan sebenarnya. Chandra terakhir berpasangan dengan Tony Gunawan, yang karena membela Amerika Serikat, tidak bisa memperkuat tim Thomas Indonesia. Nova, berpasangan dengan Lilyana Natsir, merupakan ganda campuran terbaik dunia saat ini, dipilih karena pengalamannya bermain ganda yang cukup fleksibel. Munculnya nama mereka juga tak lepas dari kontroversi.


Sedangkan untuk turnamen PIala Uber, Indonesia memang masih susah menembus dominasi Jepang (akhir 60an-awal 80an) dan Cina (pertengahan 80an-sekarang), membawa pulang piala tersebut 3 kali, dua kali di antaranya secara berturut sewaktu masih diperkuat ratu bulutangkis Indonesia, Susi Susanti. Dengan turnamen yang sekarang dipenuhi oleh eksodus pemain-pemain Cina ke negara-negara Eropa, diharapkan "kemurnian" ditambah semangat dan motivasi berlipat ganda di hadapan publik akan mampu mengulang kenangan tahun 1994.

TIM PIALA UBER

Maria Kristin Yulianti (BWF 30), tunggal putri terbaik yang dimiliki Indonesia. Cukup ironis, mengingat sejak Susi Susanti pensiun, sektor tunggal putri menjadi bulan-bulanan negara lain, bahkan menjuarai turnamen sekali setahun menjadi kemewahan tersendiri. Prestasi terbaik Maria adalah menjuarai 5 turnamen satelit, dan runner-up di beberapa kejuaraan berbintang.
Adrianti Firdasari (BWF 35), prestasinya sedikit lebih baik dengan 2 juara di kantungnya. Bergantian dengan Maria untuk menjadi tunggal pertama-kedua, kali ini peringkatnya kebetulan lebih rendah, dan harapan yang lebih besar digantungkan ke pundaknya untuk mencuri nilai.
Pia Zebadiah Bernadet (BWF 78), jarang bermain dalam turnamen internasional, namun posisinya pada tunggal ketiga memberinya tekanan yang besar. Cukup potensial bila diberi pengalaman bertanding lebih banyak. Adalah adik dari Markis Kido, anggota tim Thomas.
Fransisca Ratnasari (BWF 93), merupakan produk satu generasi bersama Maria, Firda, dan Pia, hanya poin saja yang memisahkan ranking mereka di BWF. Butuh latihan untuk meningkatkan kemampuan bermain agar mereka bisa menembus peringkat atas.
Vita Marissa/Lilyana Natsir (BWF 9), berstatus sebagai spesialis ganda, kedua pemain ini ternyata menjadi juara di kesempatan pertamanya sebagai ganda putri tahun lalu di Cina, dan menjadi harapan di tengah kesulitan Indonesia mencari ganda putri andalan.
Jo Novita/Greysia Polii (BWF 18), dipasangkan sejak tiga tahun lalu. Masih perlu mencari lebih banyak pengalaman, namun perannya sebagai ganda kedua akan menentukan kemenangan tim.
Rani Mundiasti/Endang Nursugianti (BWF 19), sejak menjadi juara di sebuah kejuaraan di tahun 2006, tidak pernah lagi menembus babak perempatfinal dalam turnamen. Perlu menambah pengalaman dan kemampuan bermain.



***saat ringkasan ini dibuat, Tim Uber telah berhasil melaju ke final, pertama kalinya sejak 1998, setelah menaklukkan finalis tahun lalu, Jerman, dengan 3-1. Kontras dengan Tim Thomas, yang harus tunduk dari Korea Selatan, 0-3, dan gagal maju ke final untuk ketigakalinya berturut-turut.

Maju terus srikandi Indonesia! Berbenahlah, arjuna Nusantara!

No comments: