Sunday, June 29, 2008
Finally, It's Final!
Dan kali ini adalah 2 tim favorit yang menunjukkan kebesaran nama mereka di sepakbola Eropa, dengan menumbangkan sejumlah kuda hitam. Jerman, pemilik 3 gelar Eropa, masuk final untuk yang keenam kalinya, dan akan berhadapan dengan Spanyol, yang sudah lebih dari 40 tahun haus akan gelar internasional dan ingin sekali memberikan prestasi semata wayangnya sebuah teman lagi.
Dengan pelatih yang sama-sama mengerti strategi khusus pasukan dan lawan masing-masing, semuanya akan berpulang kepada bagaimana para pemain mengejawantahkan taktik yang telah mereka terima. Jika tidak ada perubahan, maka Jerman akan mengandalkan serangan dari sayap melalui bek berbahaya yang bisa mencetak gol, Philip Lahm, dan Lukas Podolski (kiri), serta sayap kanan produktif Bastian Schweinsteiger dibantu Arne Friederich dalam bertahan. Lahm dan Podolski akan bertemu dengan Sergio Ramos yang sangat brilian dalam bertahan dan menyerang, yang akan dibantu oleh Andres Iniesta, yang sangat mobil dalam menjelajah pertahanan lawan. Jens Lehmann di bawah mistar akan mendapat kawalan dari duo Pert Mertesacker dan Christoph Metzelder dalam menghalau serbuan Fernando Torres, yang sepertinya akan bekerja sendirian, setelah pasangan sehatinya David Villa harus minggir karena cedera, dengan sedikit bantuan dari David Silva dan Fransesc Fabregas. Torsten Frings dan Thomas Hitzlperger akan mencoba menghalau Xavi Hernandez berkreasi membangun serangan dengan leluasa. Michael Ballack bakal mendapat kawalan ketat dari Marcos Senna dalam mengirim umpan-umpan terobosan. Iker Casillas akan menjaga gawang Spanyol dengan Charles Puyol dan Carlos Marchena bertugas meringankan tugasnya dari gangguan Miroslav Klose, yang hebat dalam memenangkan duel di udara. Juan Capdevilla di kiri akan mencoba menahan agar Schweinsteiger tidak leluasa mengancam gawang Casillas.
Pertandingan akan ketat, bahkan cenderung berhati-hati di awal. Jika ada gol di menit-menit awal, maka permainan akan cenderung terbuka. Namun bila tidak, bukan mustahil akan terjadi adu penalti.
Prediksi juara: Jerman diunggulkan dari segi materi dan mental, tapi Spanyol sepertinya akan mampu mengatasi semua beban yang dipanggulnya. SPANYOL!
Thursday, June 26, 2008
Draft NBA 2008
Tahun ini, hampir dipastikan Derrick Rose dan Michael Beasley akan menempati 2 urutan draft teratas, siapa pun juga yang lebih dulu dipilih. Chicago Bulls sebagai pemilih pertama, disusul Miami Heat di posisi kedua, tentu tidak sepusing tim-tim setelah mereka. O.J. Mayo, calon bintang dari SMU, yang sempat terlibat kasus kontrak ilegal pra-draft, difavoritkan untuk menjadi pilihan berikutnya, yang dimiliki oleh Minnesota Timberwolves.
Para pengamat bahkan sudah memperkirakan siapa-siapa yang akan menjadi calon Hall-Of-Fame dan pemain berstandar All-Star. Kita tunggu saja apakah ini musim bertabur bintang... atau hanya penyumbang pemain "biasa-biasa" saja.
Wednesday, June 25, 2008
Spanyol Dikepung Para Runner-Up
Semifinal Euro kali ini cukup unik. Bukan berarti semifinal di Euro sebelumnya kurang unik, tapi mungkin baru kali ini mendadak muncul suatu kebetulan yang hampir menjadi pembenaran menyeluruh: SEMUA runner-up grup (ada kecualinya: Spanyol) maju ke semifinal: Turki (A), Jerman (B), dan Rusia (D). Hmm, tidak ada wakil dari grup neraka??? Yups, mereka semua terbakar di kawah candradimuka selama 3 partai, sehingga setelah keluar dari sana, yang tersisa hanyalah sanga...
Kebetulan yang terlalu dipaksakan? Tidak juga, kalau saja Anda mau perhatikan. Ketiga tim runner-up tersebut tidak mengendurkan gasnya di 3 pertandingan awal, selalu mencari formasi terbaik yang sempurna dan cocok dengan ramuan strategi sang pelatih. Mereka menjaga momentum, menjaga ritme permainan, sampai memperhitungkan grafik permainan, yang diharapkan akan mencapai klimaks di final 4 hari lagi. Jika ada halangan, itu adalah karena akumulasi kartu dan cedera pemain. Runner-up terakhir yang tidak lolos, Italia, merasakan pahitnya kehilangan -- bukan satu, melainkan -- dua pemain inti, sehingga gagal menciptakan sejarah di Euro kali ini.
Jerman harus menunggu Bastian Schweinsteiger untuk segera pulih -- sialnya begitu pulih, ia terkena hukuman kartu merah -- serta terus menunggu sampai Michael Ballack dan Miroslav Klose mencapai puncaknya; sedangkan Portugal terlalu sombong untuk menurunkan tim intinya dalam tiga partai berturut. Turki kehilangan bek kanan Sabri Sarioglu di partai awal, sehingga cukup mengganggu keseimbangan; dan Kroasia menganggap kemenangan melawan Jerman sangat besar, sehingga kalau bisa, mereka mau berhenti di situ saja dan tidak melanjutkan sisa kompetisi ini. Rusia bermain di dua partai awal tanpa tarian Andrei Arshavin yang memabukkan, sedangkan Belanda bermain-main dengan nasib ketiga tim lainnya di grup mereka untuk lolos dari "neraka".
Dari ketiga kandidat juara ini, saat ini bisa dibilang Turki lah yang paling sial, karena dengan jumlah pemain terhukum akibat akumulasi kartu yang meningkat serta badai cedera, akhirnya stok pemain untuk menghadapi Jerman HANYA 13 orang. Dengan baluan semangat militan yang mereka miliki, mereka masih mungkin mengejutkan Eropa. Namun, Jerman tetap sedikit diuntungkan, terutama bila ternyata lawannya telah lelah dan melewati klimaks permainan mereka.
Calon finalis: JERMAN, perpanjangan waktu.
Sekaranglah saatnya bagi Spanyol untuk merasakan dampak kehadiran Arshavin bagi tim Beruang Merah. Luis Aragones akan berpikir keras bagaimana meredam permainan Rusia yang sangat dinamis dalam menyerang dan bertahan, ketika di saat yang sama timnya belum mampu mengeluarkan permainan terbaik yang membuat mereka pantas diunggulkan. Skor 4-1 di pertemuan pertama akan coba dibalik oleh pasukan Guus Hiddink, sedangkan Si Bijak dari Hortoleza akan mempertaruhkan ke-"bijak"-kannya di hadapan calon master Total Football yang baru.
Calon finalis: RUSIA, waktu normal.
Tuesday, June 24, 2008
Lengkap Sudah Keempat Semifinalis
Rusia benar-benar mengajari Belanda bagaimana Total Voetbal sesungguhnya -- atau "абсолєтный футбћл", bahasa Rusianya. Permainan bertenaga yang dinamis a la Hiddink hanya mampu diimbangi seadanya oleh barisan kreator besutan Van Basten. Kepiawaian Edwin Van der Sar tidak membuat mereka frustasi, dan akhirnya di babak kedua gol pertama pun tercipta melalui kaki Roman Pavlyuchenko, setelah duetnya dengan Andrei Arshavin terus menerus membuat bek-bek Belanda sakit perut karena takut kebobolan. Melalui serangan sporadis, Belanda mampu memperpanjang napas di penghujung waktu normal, setelah umpan tendangan bebas Wesley Sneijder mampu disundul Ruud van Nistelrooy, tapi hanya sampai di situ perjuangan mereka. Di babak perpanjangan waktu, melalui kaki Arshavin, tercipta 2 gol lagi, satu umpan ke kepala Dmitri Torbinsky, satu lagi dituntaskannya sendiri dari sebuah lemparan ke dalam kilat. Dan Van Basten hanya bisa terkulai saat kepalanya dielus Hiddink...
Sedangkan partai antara dua tim favorit penggemar, Italia dan Spanyol, berlangsung datar, cenderung membosankan; hal yang bisa terlihat dari hasil akhir berupa kemenangan yang ditentukan dari adu penalti. Kedua tim memainkan bola dengan terlalu hati-hati sehingga menjadi antiklimaks dari semua partai pada babak perempat final kali ini. Iker Casillas, yang bermain bagus di waktu normal, kembali menjadi pahlawan dengan memblok 2 tendangan penalti dari Daniele De Rossi dan Antonio Di Natale. Di semifinal sudah menanti tim yang mereka kalahkan di pertandingan pertama fase grup dengan 4-1.
USA mencari emas
1. Carmelo Anthony
2. Jason Kidd
3. Carlos Boozer
4. Chris Paul
5. Chris Bosh
6. Tayshaun Prince
7. Kobe Bryant
8. Michael Redd
9. Dwight Howard
10. Dwyane Wade
11. LeBron James
12. Deron Williams
Sekilas ngelihat timnya kelihatannya tim ini belum mencerminkan nomor satu di NBA karena ada beberapa nama pemain papan atas NBA yang tidak ada di roster seperti Tim Duncan, Tracy McGrady, Allen Iverson dan big threenya Celtics, Kevin Garnett, Ray Allen dan Paul Pierce.
Tim USA terakhir menang kejuaraan bola basket internasional di Olympiade Sydney 2000, setelah itu tim USA yang diperkuat para pemain NBA belum pernah memenangkan apapun baik di Olympiade maupun kejuaraan dunia FIBA.
Mampukah tim ini memenangkan gelar pertamanya sejak Olympiade 2000. Bila tak mampu, makin kuatlah argumen bahwa pusat kekuatan bola basket dunia sudah berpindah dari USA.
Monday, June 23, 2008
Ducati..Ferrari..Wushhhh!!!!!!!
Minggu sore menjelang malam, benar-benar dibuat bingung nih. Bingung mau nonton yang mana, F1, MotoGP atau Bulutangkis Indonesia Open yang finalnya berlangsung Minggu sore hingga malam.
Mending ngobrolin otomotif aja yuk...Tim Merah (Ducati dan Ferrari) berjaya nih di Donington dan Magny-Cours.
Balapan F1 di Magny-Cours memberi gambaran, bahwa Ferrari benar-benar superb sampai pertengahan musim F1 tahun ini. Pole position 1 (Kimmi) dan 2 (Massa) diraih dan berimbas pada akhir lomba kemarin. Akhir lomba dengan Pole Position memang terbalik, tetapi hasil kemarin benar-benar membuktikan Ferrari belum tergoyahkan. McLaren, BMW masih belum bisa menggoyahkan kekuatan Ferrari. Lihat saja statistik di Magny-Cours, Pole 1 dan 2, Fastest Lap oleh Kimmi, Finish juga 1 (Massa) dan 2 (Kimmi).
Memang kemarin race tidak begitu menarik bila melihat duo merah di depan, bergantian memimpin, tetapi setidaknya race Magny-Cours disuguhi pertarungan memperebutkan posisi 3 dan 4 antara Trulli dan Kovalainen, benar-benar pertarungan senior dan yunior yang sangat seru dan menegangkan (emang film horor...hehehe). Hasil akhir memang menandakan bahwa Trulli tidak bisa dikalahkan oleh yuniornya untuk di Magny-Cours, pengalaman benar-benar membuktikan hasil akhir tersebut.
Lalu kesialan Lewis Hamilton di race tersebut. Setelah melakukan kesalahan di GP Kanada dan mengakibatkan pole position yang diraih dikenakan penalti turun 10 Grid di Magny-Cours ini, kesialan juga terjadi di saat lomba. Hehehehe....minggu kemarin benar-benar sial buat Hamilton.
Ok, masih ada race selanjutnya di F1. Masih terbuka kesempatan untuk juara bagi 4 besar klasemen sementara. Mari menantap race selanjutnya di Silverstone, home of McLaren. Semoga GP Britain selanjutnya juga semenarik yang terjadi di Magny-Cours. Mari selanjutnya kita berpindah ke MotoGP.
Eits...sebelum ke MotoGP, review dulu buat 125cc dan 250cc. Di 125cc terjadi pemecahan rekor terjadi di Donigton kali ini, setelah seorang remaja dari dataran Inggris menjuarai 125cc, Scott Redding dengan Aprilianya berusia 15tahunan. Suatu pencapaian yang maksimal bagi seorang young rider di depan publiknya sendiri.
Di 250cc, kejar mengejar antara Bautista dan Simoncelli berakhir tragis bagi keduanya. Mika Kallio yang menempati grid ke-8, mencuri kemenangan di lap terakhir karena kesalahan Bautista dan Simoncelli yang tengah asyik berduel. Selamat buat Mika Kallio. Sayang Pradipta terpuruk di peringkat ke-19. Yah apa boleh buat, bukan kelas Yamaha sih di 250cc..he..he..
Ok, lanjut ke MotoGP. Stoner dengan Ducatinya benar-benar unstoppable di Donington. Tanda-tanda kembalinya Ducati sepertinya harus diwaspadai oleh Pedrosa dan Rossi. Rossi hanya berkutat dengan Pedrosa saja, sedangkan Stoner meninggalkan jauh dua pesaingnya itu. Sepertinya Rossi sudah cukup puas berada di depan Pedrosa, setidaknya masih unggul 11 poin di klasemen pembalap.
Yang patut diacungi jempol adalah rookie MotoGP tahun ini, Jorge Lorenzo. Dengan kondisi yang baru pulih dari cedera dan start dari grid ke-6, Lorenzo berhasil finis posisi ke-6 dengan melewati mantan juara MotoGP Nicky Hayden. Mungkin bila benar-benar sembuh dari cedera, Lorenzo juga merupakan ancaman bagi Rossi, Pedrosa maupun Stoner.
Hasil yang menggembirakan juga diraih oleh Collin Edward dari tim satelit Yamaha yang finis di posisi ke-4. Hasil yang bagus untuk seorang Collin Edward.
Ok, mari selanjutnya kita nantikan GP Belanda Assen untuk MotoGP dan GP Britain Silverstone untuk F1. Semoga akan lebih seru sebagai tontonan di akhir pekan.
Cheers...
Lagu Lama Hollanda
Seringkali saya mempertanyakan kewarasan saya sendiri kalau memikirkan betapa kuat ikatan emosi yang saya miliki dengan dua tim sepakbola dunia: Liverpool FC dan Belanda. Saya bukan penduduk pribumi Liverpool dan jelas bukan pula warga negara Belanda. Ketika saya lebih muda dulu, emosi saya mudah sekali dipengaruhi hasil pertandingan sepakbola tim-tim yang saya dukung. Saat menang, saya senang dan menyenangkan orang lain. Saat kalah, saya sedih dan bisa menjadi orang paling menyebalkan sedunia. Dan gilanya, saya perempuan. Perempuan harusnya sedih karena bertengkar dengan kekasih atau putus cinta. Well, itu juga bikin saya sedih dulu; tapi, sepakbola punya efek psikologis yang sama parahnya. Entah mengapa harus segitunya.
Dua puluh tahun yang lalu saya bersorak histeris bersama seluruh negeri Belanda, pendukung timnas Belanda di dunia, Rinus Michels, Marco Van Basten, Ruud Gullit, Hans Van Breukelen, Ronald Koeman, Frank Rijkaard, dan seluruh pemain Belanda saat mereka juara Piala Eropa. Lalu sepuluh tahun kemudian, airmata saya menjadi bagian sungai kesedihan di dataran rendah Hollanda saat Marc Overmaars menangis dan Belanda terhenti di semifinal Piala Dunia. Lantas sekarang apa?
Tidak ada airmata untuk Belanda minggu pagi kemarin. Entah mengapa, saya sudah jauh-jauh hari berpikir Belanda tidak akan berprestasi bagus di Euro 2008 ini. Dari sisi undian grup yang jauh dari menguntungkan saja sudah membuat saya tidak bernafsu berkhayal terlalu tinggi. Belum lagi secara teknis, tim Belanda tahun ini sebenarnya sangat rapuh secara defensif. Orang-orang yang tidak mengikuti bagaimana Belanda menjalani babak kualifikasi mungkin akan teperdaya begitu Belanda bisa memenangkan pertandingan melawan Italia dan Perancis. Tapi, tidak saya. Italia dan Perancis mengijinkan Belanda bermain sesuai keinginan mereka, mencoba melayani permainan mereka dan gagal. Romania bahkan membiarkan Belanda melakukan apa saja tanpa banyak usaha untuk mencegah Belanda memenangkan pertandingan. Tidak ada yang berusaha menihilkan permainan Belanda. Namun, saat peluit panjang di Berne, Swiss ditiup menandai kesempurnaan kiprah Belanda di fase grup, saya berpikir bahwa semua ini terlalu mudah.
Keesokan hari sesudahnya, saya mengikuti pertandingan Rusia melawan Swedia dengan ketertarikan yang besar. Sejak menonton pertandingan Rusia melawan Spanyol, saya berpendapat Rusia sebenarnya menampilkan permainan menyerang dan cepat yang atraktif - khas tim besutan Guus Hiddink. Hanya demam panggung saja yang membuat pertahanan mereka bobol terlalu gampang saat itu, dan tidak adanya satu nama yang saya tak kenali: Andrei Arshavin. Ya, saya memang meremehkan UEFA Cup dan tidak peduli dimenangkan oleh Zenith St Petersburg dengan membantai Bayern Munich 4-0 di semifinal dan Glasgow Rangers 2-0 di final. Akibatnya, saya tidak kenal siapa Arshavin.
Anyway, saya benar-benar tidak dikecewakan menonton partai Swedia vs Rusia. Rusia bermain rapi saat bertahan dan menyerang. Mereka tidak membiarkan pemain-pemain Swedia berkembang permainannya dan dengan efektif mampu meredam permainan Swedia yang konon secara teknis lebih diunggulkan dan secara fisik pun rata-rata lebih tinggi besar dibandingkan para pemain Rusia. Di samping itu, yang saya kagumi adalah determinasi mereka untuk bertarung dan merebut bola, lalu dengan cepat berbalik dari bertahan ke menyerang dengan serangan balik yang mematikan. Mereka memang berhak menang atas Swedia dan Arshavin memang sosok orkestrator serangan Rusia yang menjadi kartu As Hiddink.
Dan saya pun termangu. Ini bukan lawan yang semula saya harapkan di perempat final untuk tim Oranje saya. Guus Hiddink saja tanpa kualitas yang memadai tidak akan cukup untuk meredam Belanda. Namun, Guus Hiddink dengan sekumpulan pemain yang punya kualitas teknis yang cukup dan determinasi yang tinggi, sungguh bukan kombinasi yang akan menguntungkan Belanda. Dengan cemas, saya mengirimkan SMS dan YM sana-sini untuk mencari teman yang bisa meruntuhkan ketakutan saya soal Rusia. Kebanyakan orang tidak memandang Rusia sebagai lawan sebanding. Namun, otak dan hati saya seperti sepakat mengatakan bahwa Rusia bisa jadi David yang merobohkan Goliath Belanda.
Dan apa yang saya cemaskan terjadi di lapangan. Tim Oranje tidak mampu mengembangkan permainan mereka. Rusia dengan penuh percaya diri memainkan posession football dan tanpa ragu-ragu menekan Belanda saat kehilangan bola, bertarung dan berusaha memenangkannya kembali. Pertahanan Belanda pun ditelanjangi kerapuhannya. Hanya karena Edwin van der Saar sajalah Belanda masih bisa menyelamatkan muka di 90 menit waktu normal. Tapi, seorang Edwin van der Saar tidak mampu menyelamatkan Belanda sendirian tanpa dukungan yang cukup. Dan lagu lama Hollanda yang sudah saya dengar setiap dua tahun sekali kembali terngiang. Belanda tersisih lagi.
Minggu sore kemarin, saya menuju Stadion Lebakbulus untuk menonton teman-teman saya bertanding. Di perjalanan dengan taksi, Pak Supir mengajak saya ngobrol soal Piala Eropa di saat saya sungguh tidak ingin membicarakannya. Apa daya, karena Pak Supir sudah lanjut usia dan ramah, saya pun dengan malas bercampur tak tega menanggapi. Setelah beberapa lama, dia rupanya paham juga saya kurang berminat dan akhirnya menyetel radio. Bagus, mendingan dengerin radio, pikir saya. Namun, ternyata dengan lucunya stasiun radio yang dia pilih sedang membahas kekalahan Belanda dari Rusia. Sungguh menyebalkan.
Bunga tulip jingga saya sudah kering sekarang. Dan rupanya, saya memang masih harus menunggu lagi pesta kembang api ulangan tahun 1988. Ya sudah, tidak apa-apa. Saya sudah mulai terbiasa. Kini, saatnya kembali menikmati pesta sepakbola secara netral. Tapi, saya harap Rusia juara tahun ini. Saya sungguh berharap mereka yang memenangkan piala Henri Delaunay itu. Bukan karena pelatih mereka orang Belanda. Bukan karena saya suka tim-tim underdog. Bukan itu. Saya mau mereka juara karena alasan yang sederhana saja: Agar saya bisa bilang bahwa Belanda kalah di tangan tim yang akhirnya juara.
Jadi, ayo Rusia! Inggris, Yunani, Swedia, dan Belanda sudah kalian taklukkan. Tuntaskan hingga ke final!
Tetap: Oranje Boven!
Tinggal Empat Tim
Belanda dan Portugal yang sangat superior di babak penyisihan group, ternyata harus pulang lebih dulu di perempat final, bukan karena kalah keberuntungan atau tos-tosan namun karena dioutclassed oleh lawan-lawannya Russia dan Jerman.
Jerman yang diunggulkan di awal kejuaraan walaupun sempat dikagetkan oleh Kroasia sepertinya menunjukkan kelasnya sebagai tim papan atas. Cara Jerman menjungkalkan Portugal benar-benar berkelas, tidak ada ruang untuk berkreasi untuk para pemain Portugal. Kelihatannya Cristiano Ronaldo, salah satu calon pemain terbaik dunia tahun ini lebih tertarik di klub mana dia akan bermain musim depan ketimbang fokus untuk negaranya. Bastian Schweinsteiger bangkit setelah kartu merah yang diterimanya pada saat kalah dari Kroasia di babak penyisihan group, satu gol dan dua assist dicetaknya dalam perempat final lawan Portugal, menunjukkan bahwa Jerman mempunyai apa yang dibutuhkan untuk jadi juara di turnamen kali ini, skuad yang lengkap dari pertahanan yang konsisten, midfielder yang tangguh (Schweinsteiger dan Ballack), poacher yang handal (Podolski dan Klose), plus keberuntungan.
Russia membuktikan bahwa mereka dapat memainkan total football yang lebih baik ketimbang Belanda sang penemu aliran tersebut. Arshavin dan Hiddink lah otak total football ala Rusia yang membungkam Belanda 3-1. Kembalilah Belanda pulang kampung dengan tangan hampa sejak 1988.
Kroasia yang meyakinkan di babak penyisihan group, sempat sekejap seakan membooking satu tempat di semi final lawan Jerman, sebelum dikejutkan oleh gol di detik terakhir perpanjangan waktu oleh Semih Şentürk yang memaksa adu penalti dan akhirnya Turki yang lolos.
Yang terakhir Spanyol sukses memulangkan juara dunia 2006, Italia dan akhirnya sejak sekian lama menjadi salah satu kandidat juara Euro tahun ini. Spanyol setelah beberapa lama akhirnya memiliki materi yang lengkap dan matang untuk dapat menjadi juara di turnamen ini. Dua musim lalu di Jerman Torres dan Villa belum matang, kali ini di Austria-Swiss duet ini lah yang menebar ancaman bagi barisan belakang calon lawannya. Italy kehilangan keberuntungan di perempat final, dengan mengandalkan kekompakan dalam hal bertahan kali ini belum cukup untuk mampu menahan determinasi Spanyol dan akhirnya ditutup dengan keberuntungan lewat adu penalti.
Semi final tinggal beberapa hari lagi, dan turnamen ini menjanjikan akhir yang dapat dikenang oleh para pecinta bola.
Adiosss
Saturday, June 21, 2008
Jerman Usir Portugal, Turki Lebih Tangguh Dari Kroasia
Jerman kurang diunggulkan melawan Portugal, namun statusnya sebagai tim spesialis turnamen tetap mengerikan di mata lawan-lawannya. Kali ini, Portugal kena batunya. Jika melihat permainan tim Bavaria ini di babak penyisihan, memang kurang meyakinkan jika dibandingkan dengan tim Brasilnya Eropa ini. Tapi setelah meraih gol penting di partai lawan Austria, perubahan formasi serta penerapan taktik yang tepat menjadi kunci di partai hidup-mati ini. Sedangkan Portugal, yang bisa dibilang kurang mendapat lawan sepadan di fase grup, bermain tanpa mengubah apa-apa dari formasi dan taktik yang diterapkan pada 2 partai awal, padahal lawannya adalah juara Eropa 3 kali, yang juga mengalahkan mereka di perebutan juara ketiga pada pergelaran Piala Dunia terakhir. Formasi sukses Jerman itu antara lain dengan memasangkan duet penyerang Miroslav Klose-Lukas Podolski, berhubung Mario Gomez kurang dapat bekerja sama dengan Klose di fase grup. Di tengah, ketiadaan Torsten Frings diganti Simon Rolfes dengan baik. Meskipun tidak ada tendangan spekulasi khas Frings, namun lini tengah Portugal dibuat mati ide dalam membangun serangan. Sayap yang sebelumnya kurang agresif mendapat suntikan dengan bermainnya Bastian Schweinsteiger serta Thomas Hitzlsperger. Bek kanan Marcell Jansen yang juga kurang baik dalam membantu serangan merelakan tempatnya pada Arne Friedrich.
Mulai babak pertama, Jerman terus mendominasi pertandingan, dan menuai hasilnya melalui gebrakan di sayap kiri oleh Podolski yang dituntaskan Schweinsteiger. Berikutnya dalam sebuah tendangan bebas, Schweinsteiger kembali berperan setelah umpannya dengan cermat disundul Klose, gol pertama sang top skor Piala Dunia 2006. Kesialan Portugal bisa dikatakan bertambah karena Joao Moutinho harus ditandu dan diganti Raul Meireles. Di akhir babak, Portugal sedikit bernapas lega setelah tendangan Cristiano Ronaldo yang ditepis Jens Lehmann mampu dituntaskan sang kapten, Nuno Gomes. Babak kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Jerman menambah gol setelah Michael Ballack menyambut umpan dari tendangan bebas, sesuatu yang sebenarnya sudah disadari Luis Felipe Scolari sebagai kelemahan timnya. Namun gol ini sendiri menuai kontroversi, karena terlihat Ballack "sedikit" mendorong Paulo Ferreira saat akan melompat. Mencoba membalikkan keadaan, Scolari memasukkan Helder Postiga dan Nani menggantikan Nuno Gomes dan Armando Petit. Kedua pemain ini terbukti mampu menambah daya serang timnya sehingga menghasilkan gol kedua di lima menit terakhir. Sayangnya, gol ketiga yang ditunggu-tunggu tak hadir juga dan Jerman menunggu pemenang partai perempat final kedua.
From-Zero-To-Hero: BASTIAN SCHWEINSTEIGER. Pergerakannya benar-benar merepotkan pertahanan lawannya, sehingga tidak mampu lepas dari tekanan Jerman. Umpan-umpannya set-piece yang terukur dan naluri mencetak gol yang tinggi seakan menghapus dosanya saat bertindak konyol di partai melawan Kroasia, ketika ia mendapat kartu merah saat Jerman sedang berusaha mencari gol penyeimbang.
From-Hero-To-Zero: CRISTIANO RONALDO. Permainan yang menawan saat menghancurkan Cek tidak kelihatan sama sekali. Sikap egoisnya bahkan merusakkan permainan indah timnya. Hampir setiap bola yang sedang dikuasainya di dekat area penalti ditembakkan langsung ke arah gawang, lebih dari setengahnya tidak menemui target. Bahkan gol Nuno Gomes pun sebenarnya hasil dari tendangannya yang tidak mampu ditangkap Lehmann, padahal dia bisa mengumpan biasa untuk mengkreasikan gol.
Keesokan harinya dimainkan partai antara dua kuda hitam yang tak kalah menariknya. Namun karena terlalu berhati-hati, babak pertama berjalan lambat. Permainan baru "dimulai" di babak kedua, namun dengan kecenderungan bahwa kedua pelatih mengantisipasi pertandingan yang panjang, maka pergantian pemain dilakukan secara berhati-hati. Sial bagi Turki, dalam menghentikan serangan lawan, mereka banyak menerima kartu kuning, sehingga 3 pemainnya dipastikan mendapat skorsing 1 partai setelah pertandingan ini. Rustu Rechber memainkan peran yang vital saat ia mampu mementahkan tendangan bebas keras Darijo Srna dan peluang emas lainnya, antara lain dari Ivica Olic.
Drama sesungguhnya baru dimulai saat babak perpanjangan waktu. Dalam satu pergerakan menusuk sisi kiri pertahanan Turki, Luca Modric mampu memanfaatkan kesalahan Rustu dan umpan lambungnya tidak disia-siakan Ivan Klasnic, 1-0 untuk Kroasia di menit ke-119! Di saat genting ini, pelatih Slaven Bilic ingin membuang waktu dengan memasukkan pemain pengganti, namun tidak diperhatikan wasit. Bola offside Mladen Petric langsung ditendang Rustu jauh ke depan, dan dimanfaatkan dengan baik oleh penyerang pengganti Semih Senturk yang dengan tendangan spekulasinya mampu menyamakan kedudukan di saat wasit sudah akan meniup peluit tanda akhir pertandingan, 1-1 di menit ke-122!
Penalti pun dimainkan, dengan situasi yang memihak Turki akibat gol penyama kedudukan itu. Adu penalti pun menjadi ajang pertaruhan pelatih, dan pengalaman Fatih Terim mengalahkan Bilic. Pemain-pemain muda Kroasia yang ditugaskan untuk mengambil penalti terlihat tegang, sehingga dari 4 pemain hanya 1 yang berhasil. Turki pun mampu melangkah ke semifinal, pencapaian terbaik selama mereka mengikuti Piala Eropa.
Fakta menarik: OFFSIDE PERTAMA di pertandingan ini tercatat pada menit ke-62 oleh Ivica Olic, sesuatu yang tidak lazim melihat kecenderungan kedua tim yang silih berganti menyerang, walaupun kendali lebih ke Kroasia.
Thursday, June 19, 2008
Saatnya Mereka Berguguran...
Kalaupun bisa disebut kejutan (atau malah Kejutannya kejutan!) yaitu tersingkirnya juara bertahan Yunani secara tragis, tidak mampu mendapat poin dari tiga pertandingannya di grup tidak terlalu maut yang hanya melibatkan tim yang susah berprestasi di turnamen tapi tetap dianggap tim besar: Spanyol, tim yang selalu hebat di kualifikasi namun hanya bisa mengejutkan di turnamen sebenarnya: Swedia, serta tim yang tidak diharapkan karena telah menyingkirkan negara penemu sepakbola modern yang sekarang banyak diidolai: Rusia. Swedia kemudian menemani Yunani untuk pulang lebih awal.
Nah, lantas bagaimana dengan grup yang maut bang...ged? Gimana ga maut, ada tiga tim juara Eropa di sini (plus 4 gelar juara dunia, kalau itu masuk hitungan, but what the heck...) dan satu tim ngeyel pisan: Rumania, yang susah disuruh pulang. Buktinya, dua tim finalis piala dunia lalu (sekali lagi, sepertinya piala dunia tidak berarti apa-apa di sini) harus berebut tiket terakhir: Italia-Perancis, sambil mengemis pada tim lain: Belanda.
Lalu, dua tim tuan rumah yang harus rehat lebih awal karena ditaklukkan lawan yang lebih mumpuni. Swiss, di satu sisi, harus Portugal dan Turki -- yang akhirnya lolos -- serta Cek. Di sisi lain, Austria menghadapi Kroasia dan tim paling diunggulkan di turnamen ini: Jerman, serta tim yang juga akhirnya tidak lolos: Polandia.
Lalu bagaimana kans para kontestan di perempat final? Hari ini kita akan menyaksikan pertarungan terlalu dini antara Portugal dan Jerman. Portugal lolos dari grup A dengan dua kemenangan meyakinkan serta memberikan satu partai pada tuan rumah Swiss. Barisan pertahanan mereka kurang teruji, kontras dengan serangan maut barisan penyerangnya. Jerman sendiri kesulitan meramu serangan yang berujung pada sedikitnya gol pada fase grup. Kelemahan yang sangat tereksploitir saat melawan Kroasia akan coba diulangi oleh Portugal. Namun sebagai tim spesialis turnamen, Jerman tidak akan kalah begitu saja.
Perkiraan: JERMAN, perpanjangan waktu.
Turki akan mencoba melawan tim yang seimbang antara skill individu dengan kolektivitas, Kroasia. Pengalaman Kroasia dalam meredam keunggulan teknik pemain Jerman sangat berharga dalam menentukan langkah mereka selanjutnya. Partai yang seimbang, tidak mustahil diselesaikan dengan adu penalti.
Perkiraan: KROASIA, waktu normal.
Belanda kembali diuji efektivitas serangannya lewat pertarungannya dengan arsitek yang sudah sangat mengenal pemain-pemain lawan, Rusia dengan Guus Hiddink-nya. Keberanian Rusia untuk bermain terbuka dan mendominasi cukup efektif, walaupun sempat tumpul di hadapan Spanyol. Belanda sendiri cukup teruji pertahanannya dengan hanya kebobolan 1 gol, bahkan saat melawan tim sekelas Italia dan Perancis. Kelemahannya hanya pada mental yang sering cepat puas. Jika pemain senior di kubu Belanda mampu mempertahankan semangat juang tim, kemenangan bukan hal sulit.
Perkiraan: BELANDA, waktu normal.
Italia melawan Spanyol juga termasuk partai yang sangat disayangkan sudah harus terjadi seawal ini. Pertahanan Italia mulai membaik, walaupun masih kesulitan dalam mempertajam serangan. Spanyol sendiri dapat dikatakan mempunyai pasangan striker yang terbaik dalam beberapa tahun belakangan, namun sering kesulitan dalam mengkreasikan serangan dari tengah lapangan. Kedua tim dapat menampilkan pertandingan yang berbeda dari apa yang sudah mereka tunjukkan sebelumnya.
Perkiraan: SPANYOL, waktu normal.
Ada pendapat lain?
Wednesday, June 18, 2008
Sang Drakula Terbakar Hangus Api Jingga
*****
Saya tidak tahu banyak mengenai negara-negara Eropa Timur, kecuali mungkin Rusia karena saya mengagumi kesusasteraannya, terutama kedua pujangga besarnya: Leo Tolstoi dan Fyodor Dostoyevski. Di luar itu, lagi-lagi cuma olah raga, sepakbola khususnya, yang menyingkap sedikit tirai pengetahuan mengenai Eropa Timur macam Hongaria, Romania, Ceska, Slovakia, dan sekitarnya. Jadi, jika orang bertanya, "Apa yang kau tahu tentang Romania?" Jawaban saya mungkin: Georghe Hagi, Adrian Mutu, Cristian Chivu (yang ini favorit saya), dan Nadia Comăneci. Oke, tambahkan Drakula deh, Transilvania kan bagian dari Romania. Lain itu, soal seni budaya dan seterusnya pengetahuan saya nol, demikian pula minat untuk mengenal lebih jauh.
Kemarin siang, saya diajak menghadiri lunch meeting oleh salah satu bank rekan bisnis perusahaan tempat saya bekerja. Pikir saya, mbok kalau mau makan siang ya makan siang saja; mengapa harus pakai acara rapat sekaligus? Tapi, karena dijamu dan atasan sedikit memaksa saya ikut, ikutlah saya. Mereka bawa pasukan, kami bawa pasukan. Setelah berkenalan, makan siang sambil rapatnya pun dimulai. Di samping saya, duduk seorang mbak yang wajahnya seperti orang India. Pembicaraan berayun dari soal bisnis, teknologi, isu perumahan rakyat, dan akhirnya kena juga favorit saya: sepakbola. Ternyata si Mbak itu mengikuti juga Piala Eropa yang sedang berlangsung dan mendukung, coba tebak: Romania. Kenapa? Karena ibunya orang Romania (asli). Maaf, kalau saya sedikit norak, tapi rasanya lumayan luar biasa bisa punya kenalan seseorang yang berdarah Romania. Si Mbak pun kontan berkata, "Wah, berarti kita musuh," begitu mengetahui saya pegang Belanda. Namun, dasar pendukung Oranje angkuh, saya dengan kalem mengatakan bahwa Romania bukan musuh bagi Belanda (karena dianggap nggak selevel tentunya) dan bahwa bagi pendukung Belanda, musuh terbesar adalah Jerman.
Tengah malam tadi, sembari menanti siaran langsung pertandingan tak menentukan bagi Belanda melawan Romania, saya berpikir, betapa semua ini di luar dugaan saya dan banyak penggemar sepakbola lainnya. Semula saya kira Belanda akan dipaksa berjuang hingga tetes keringat dan detik terakhir untuk sekedar lolos ke perempat final. Pertandingan melawan Romania akan menjadi sangat menarik karena dua-duanya mungkin masih punya kesempatan lolos mendampingi favorit juara, entah Italia entah Perancis, yang diprediksikan lolos terlebih dulu.
Tapi, prakiraan dan analisa banyak orang ditunggang-balikkan dengan performa Belanda di dua pertandingan sebelumnya. Dan saya kira, Victor Piturcă pun salah perhitungan. Setelah berhasil mengambil 4 poin dari Belanda di kualifikasi Piala Eropa, mungkin ia berpikir kalau bisa menahan imbang Perancis dan Italia lantas menang lawan Belanda maka mereka punya kesempatan besar lolos ke babak berikutnya. Prakiraan tinggal prakiraan. Sekarang, mereka harus menang kalau mau pasti lolos ke perempat final. Jadi, harapan saya, pertandingan ini akan tetap menarik karena meskipun Belanda menurunkan lapis keduanya, Romania akan memaksa Belanda bermain bola sungguhan. Hasilnya mungkin sekedar seri, tapi paling tidak disuguhi permainan menarik dan Van Basten tidak (kelihatan) mengalah begitu saja agar Italia dan Perancis pulang kampung.
Ternyata, dugaan saya salah. Romania seperti vampir yang belum minum darah lagi. Mereka bermain tanpa semangat juang dan tidak menunjukkan mereka niat menang. Tadinya, saya berharap mereka telah belajar dari Turki yang pantang menyerah dan akhirnya bisa memulangkan Petr Cech dan kawan-kawan ke Praha sana. Namun, kenyataannya meskipun Belanda sudah kelihatan santai dan tidak ngoyo, Romania tidak cukup berusaha menekan Belanda. Memang dari mulanya, mereka lebih mengutamakan pertahanan (yang sebenarnya ironis karena pelatihnya juga mantan striker hebat). Tapi tentunya dengan perhitungan bahwa begitu ada kesempatan mencetak gol, ya dimanfaatkan dong sebaik-baiknya. Sekian tendangan berlalu dari Adrian Mutu, Marius Niculae, dan Cristian Chivu yang mengarah ke gawang Belanda, tak ada yang berhasil merobek jala di belakang Maarten Stekelenburg. Sementara di pertandingan yang lain, Italia sudah memimpin 1-0. Wah, di mana keganasan Drakulanya? Sementara itu, di pihak Belanda, Robin Van Persie, Arjen Robben, dan Klaas-Jan Huntelaar masing-masing berlatih menembak dan (seperti sengaja) gagal.
Saya mulai bosan di sepertiga babak pertama. Rasanya seperti berkencan dengan pria pendiam yang takut memulai ‘serangan’ setelah sebelumnya berkencan dengan dua pria lain yang bisa memacu adrenalin dan membuat tereksitasi. Babak kedua pun tak jauh berbeda. Malah akhirnya, Belanda yang ‘terpaksa’ mencetak gol karena dibiarkan bermain bebas tanpa perlawanan yang cukup berarti. Terus terang saya kecewa berat. Kalau tuan rumah Swiss saja masih mau berjuang biarpun sudah pasti tidak lolos, mengapa Romania yang harusnya lebih berpeluang maju ke perempat final justru lesu darah begini? Oke, jujur pula saya akui, saya berharap Perancis dan Italia (apalagi Italia!) tidak lolos seperti kebanyakan pendukung Oranje lainnya. Jadi, memang Romania bikin gemas dan gregetan dengan keloyoannya itu.
Ketika kemudian pertandingan mendekati akhir dan teks berjalan di layar membocorkan berita bahwa Italia telah menambah keunggulan atas Perancis menjadi 2-0, saya makin jemu melihat pasukan drakula tanpa taring itu. Apalagi lantas Robin Van Persie menambahkan lagi satu gol tiga menit menjelang peluit panjang. Habis sudah Romania dan seluruh Italia bersorak bahagia: FORZA ITALIA!
Ah, ternyata, akhirnya Sang Drakula hangus juga dimakan api Jingga.
Oranje Boven!
Monday, June 16, 2008
EURO 2008: Matchday 2
Portugal really is not dissapointing as a team who almost won the previous Euro in their land, and battled France hard before knocked from the semifinal in the World Cup last occasion. They had a little difficulty handling Turkey's tough defense but managed to escape in a 2-0 win, followed by a hard-fought game against Czech, 3-1. Poor Switzerland, they can't escape from this group after a loss in a hard rainy day against the Turks, 1-2, while Czech and Turkey will try to extend their participation in this tournament. Had the game ended in a tie, it will be an extra time and, if necessary, a penalty shoot-out.
--UPDATED: Turkey had successfully beaten Czech in a tight game, 3-2.Highly favored from B, German unexpectedly got outplayed by Croatia, whose first game is not so entertaining but effective. The Croatian taught the Polish, had they been more patient, they could win against the more experienced, three-time-european-champion team. Late goal from the penalty spot kept the other co-host team, Austria, 's dream alive. Dominating in every way, they were shocked by a goal in the first half, and their effort was highly regarded by lady luck, a thing that Switzerland wished they had. German now will play they third game facing the more supported Austrian team to win the remaining spot. The winning team will play Portugal in the next stage.
The so-called "Group Of Death" really is lethal. The most productive team in the competition, so far with 7 goals, is in this group. Two of the BIG-3 in this group now are on the bottom two, and must face each other in the brink of elimination. The worst part is, even if France or Italy -- the two met somehow on the final in a bigger competition scale 2 years ago -- wins the game, they must also pray that Holland will play seriously and fails Romania. Expect the unexpected!
Spain topped their group after a lucky blow against an effective team, Sweden. Now they can relieve, at least until semifinal, when they meet Holland, if the destiny leads them. Russia will fight for the honor to meet Holland in the next stage. Had it been a draw, then Sweden will go through. A dissapointing campaign for the defending champ Greece, it's the end of their fairy tale in European Championship.
EXPECT EMOTIONS!!!
Merci, Monsieurs, mais je préfère l’équipe de Pays-Bas!
Saya selalu terpesona dengan Perancis: bahasanya, filmnya, Parisnya, anggurnya, Asterixnya, dan banyak lagi. Bahasanya yang indah dan seksi kedengarannya membuat kita mungkin tidak akan cepat sadar kalau sebenarnya sedang dicaci-maki. Filmnya yang cenderung lebih nyeni daripada film-film komersil dari Amerika sana membuat saya memaksa diri belajar bahasa Perancis agar tidak selalu terpaku dengan teks terjemahan. Paris, yang konon salah satu kota paling romantis di dunia, masuk dalam daftar cita-cita kunjungan saya – meskipun, yang lebih menarik bagi saya adalah arsitektur dan karya-karya seni yang ada di sana, bukan romansanya. Lalu, remaja 90-an mana yang tidak suka komik Asterix? Ya, Perancis memang cantik dan elegan, tapi juga punya cita-rasa humor yang renyah.
Oh, ya, satu hal penting lain (yang merupakan salah satu yang terpenting bagi saya): Perancis juga punya Zinedine Zidane. Saya dulu menyebutnya salah satu Dewa sepakbola saking terpesonanya dengan permainannya yang selain berteknis luar biasa, juga cerdas. Tidak heran kalau Perancis berjaya di masanya. Michel Platini pun tidak mampu memenangkan segalanya, tapi Zidane bisa. Bahkan di akhir karir gemilangnya, dia masih sempat membawa Perancis ke final Piala Dunia 2006. Saya pikir, tanpa provokasi Matterazi, Perancis akan menjadi juara dunia untuk kedua kalinya saat itu. Well, nasib berbicara lain dan Italia juara. Hidup harus terus berjalan.
Dua tahun dalam kalender sepakbola berlalu. Zizou tinggal kenangan. Tapi Perancis punya bakat-bakat baru, tentu saja, seperti Franck Ribéry, Samir Nasri, Karim Benzema, Sidney Govou dan lain-lain. Sementara para veteran dengan nama besar pun belum semuanya pensiun; masih ada Thierry Henry, Lilian Thuram, William Galas, Patrick Vieira, dan Claude Makalele. Jadi, sungguh menciutkan hati tatkala saya melihat bahwa tim Oranje saya harus ditempatkan satu grup dengan Perancis (dan Italia!). Duh, mimpi buruk apa? Belanda yang sekarang bukan Belanda dua puluh atau sepuluh tahun yang lalu. Tidak pernah kekurangan penyerang, memang; tapi, tidak punya kekuatan pertahanan yang cukup juga. Pelatihnya pun mantan striker dan penganut filosofi totaal voetbal secara total pula sehingga agak susah diajak me-modif sedikit skema permainannya. Sekali 4-3-3, tetap 4-3-3. Mosok Belanda main dengan skema bertahan 4-5-1 (atau variannya)? Walhasil, saya jadi menyiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan bahwa Belanda tidak lolos penyisihan grup. Pikir saya, paling tidak toh masih lolos ke putaran final dan bisa ikut meramaikan di minggu pertama pesta sepakbola Eropa. Sudah itu, ya jadi penonton netral saja.
Tapi, orang bijak dan pintar biasanya tidak selalu benar. Yang membedakan mereka adalah belajar dari pengalaman dan kesalahan serta mau beradaptasi. Jadi, saya senang saat melihat line-up Belanda melawan Italia. Pikir saya saat itu, wah, bisa lah seri. Menit-menit berlalu. Lho, kok mainnya keren begini? Lho, kok golnya Nistelrooij nggak dianulir (terima kasih, Bu Dewi Fortuna!)? Lho, kok bisa memanfaatkan serangan balik dengan sedemikian dahsyat efektivitasnya? Lho, kok…menang?!!! Lawan Italia! Setelah 30 tahun! Ijinkan saya histeris sedikit. Besok-besok lawan Perancis belum tentu menang lagi soalnya. Seorang pengamat sepakbola yang cukup dipandang di sebuah komunitas sepakbola yang saya ikuti pun bilang, pertahanan Perancis masih nomor satu. Oke. Fine. Saya juga sudah senang kok bisa menang lawan Italia.
Hari Jumat lalu, saya mengakhiri hari dengan bermain bowling dengan beberapa teman meskipun sebenarnya agak sedikit demam. Maksudnya, biar paling tidak saya sempat bersenang-senang dulu sebelum bersakit-sakit (hati) kemudian JIKA Belanda kalah. Bayangan saya adalah Belanda akan berusaha menggedor pertahanan Perancis, frustasi, lantas dengan lucunya Thierry Henry akan mencetak gol kemenangan Perancis. Lalu, saya harus bersiap-siap dengan segala SMS ledekan dan celaan soal kekalahan Belanda. Begitu perkiraan saya.
Sabtu, 14 Juni 2008 01.45 WIB. Saya berbaring di tempat tidur menatap monitor saat lagu kebangsaan kedua negara yang bertanding dikumandangkan. Ah, kata saya dalam hati, saya harus mempelajari lagu kebangsaan Perancis "La Marseillaise" karena nada refrainnya bikin bersemangat: "Marchons! Marchons! Qu’un sang impur…abreuve nos sillons!" (Maju! Maju! Biar darah tak murni mereka membasahi ladang kita!). Sebenarnya, lagunya lumayan horor kalau diterjemahkan, mungkin karena dibuat saat revolusi Perancis yang penuh genangan darah. Anyway, saya cukup tenang menonton pertandingan besar ini dimulai. Bahkan saat Dirk Kuyt mencetak gol pertama, saya senang tapi perjalanan masih panjang, sekitar 80 menit lagi. Segalanya masih bisa terjadi. Apalagi kemudian saya lihat bagaimana Ribéry demikian merepotkan dan dengan Govou berhasil menguji keabsahan klaim bahwa Edwin Van der Saar adalah salah satu penjaga gawang terbaik dunia.
Babak kedua dimulai dan tak lama kemudian, Marco Van Basten membuat perubahan yang mungkin bikin beberapa orang mengernyitkan dahi. Direpotkan serangan lawan kok malah masukin dua sayap? Tapi, entah kenapa saya setuju dengan taktiknya. Pertahanan Perancis harus dibikin lebih repot lagi agar pemain tengahnya gak bisa dengan santai bantu-bantu mbolongin pertahanan Belanda. Jadi ketika tidak lama kemudian Robin Van Persie membuat skor menjadi 2-0 untuk Belanda, saya mulai histeris. Baru bisa agak tenang sedikit ketika saya melihat masih setengah jam lagi, waktu yang cukup untuk Perancis mengejar ketinggalan. Dan benar saja, sepuluh menit kemudian saya dengan gugup menggigit bibir sendiri ketika Thierry Henry mencetak gol balasan. Oh! Yang penting jangan kalah. Tapi, dalam sekelebatan, Arjen Robben tahu-tahu sudah ada di ujung lapangan sana dan terciptalah sebuah gol cantik dari sudut yang aneh. Lilian Thuram, Willy Sagnol dan William Gallas tidak bisa mencegah lebih baik dari yang sudah mereka usahakan. Paling tidak, menurut mata awam saya.
Ah, betapa pertandingan ini menjadi sajian sepakbola indah yang memanjakan pecinta Oranje! Finalis Piala Dunia 2006 menjadi obyek taklukan Belanda berikutnya. Kurang alasan apa lagi bagi seorang gadis penggila timnas Belanda buat bersorak kegirangan? Well, kurang satu gol lagi. Wesley Sneijder yang sudah sukses menjadi otak serangan Belanda bersama Rafael Van der Vaart, menutup pertandingan ini dengan sebuah tendangan jarak jauh yang membuahkan gol gagah yang masuk tipis di bawah mistar gawang. Skor akhir Belanda 4 Perancis 1. Dan saya secara resmi histeris. Merci, Monsieurs, mais je préfère l’équipe de Pays-Bas! Thank you, Gentlemen, but I prefer the Netherlands’ team!
Seluruh mata dunia kini menatap Belanda dengan lebih serius dibandingkan kemarin-kemarin. Itulah resikonya berhasil mempecundangi Italia dan Perancis. Ekspektasi orang melesat bagai roket oranye pesat ke langit biru. Tapi, tidak ekspektasi saya. Saya cuma mau menikmati padang bunga tulip jingga selama belum layu. Itu saja sudah cukup. Lebih dari itu, bonus!
Oranje Boven!
Thursday, June 12, 2008
Cinta Oranje Yang Tak Bisa Pudar
Jakarta, Juni 1988
Seorang gadis tiga belas tahun sedang berjuang sekaligus menikmati masa remajanya yang complicated. Dia masih menyukai hal-hal maskulin dari masa kecilnya yang ramai dengan sepupu laki-laki, paman, kakak laki-laki, dan lebih banyak teman bocah laki-laki. Tapi, dia mulai merasa bahwa jerawat di wajahnya membuatnya tidak cantik di mata teman-teman (terutama yang cowok) dan kakak kelas yang menghuni kelasnya di pagi hari membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Jadi, sungguh sensasi yang aneh bin lucu khas ABG, bahwa aktivitas seperti nonton sepakbola di tivi dan nongkrong dengan teman-teman cowok yang jago basket harus bercampur dengan mematut wajah lebih lama daripada waktu SD dulu dan menulis puisi cinta (monyet pastinya) tentang kakak kelas yang (dulu kayaknya) ganteng banget.
Lantas, Piala Eropa edisi 1988 pun bergulir. Dia bela-belain nonton tentu saja. Waktu tayang yang pagi buta tidak pernah menjadi masalah buatnya sejak ayah dan ibunya memperkenalkannya dengan sepakbola dunia di tahun 1986. Dia sudah tahu siapa itu John Barnes, Gary Lineker dan Michel Platini, Franz Beckenbauer dan Lothar Matthaeus, dan Ruud Gullit yang sebelumnya sempat berkunjung ke Jakarta dengan klub lamanya, juara Piala Champions 1987-1988 PSV Eindhoven. Dan kemudian, dia ‘berkenalan’ dengan Paolo Maldini yang baru berusia 19 tahun dan tampan rupawan. Buat gadis tiga belas tahun, rasanya dia pria paling pas. Namun, beberapa pertandingan berlalu dan tiba saatnya Belanda mengadu totaal voetball-nya dengan Inggris. Dia pun terpaku pada sosok berbalut kaos Adidas jingga bernomor punggung 12. Mulai detik itu, hatinya cuma buat tim Oranje. Paolo Maldini terlupakan dan baginya cuma ada satu: Marco Van Basten.
Sementara itu, liburan sekolah sudah tiba. Dunianya sekarang melulu sepakbola Eropa. Kakak kelas yang jadi tema puisinya tak semenarik sebulan yang lalu. Dan seperti gadis-gadis ABG lainnya, dengan cepat hatinya pun beralih.
*****
Jakarta, Juni 2008
Sudah dua puluh tahun berlalu sejak saya secara resmi menggilai tim Belanda yang juara Piala Eropa 1988. Saya tetap menggilai mereka sampai sekarang. Kenapanya memang bisa banyak alasannya. Bisa soal sepakbola menyerang dan menawan yang mereka tampilkan, bisa juga soal keterkaitan budaya karena darah PeJAmbon (Peranakan Jawa Ambon) saya. Kebanyakan orang yang berdarah Ambon, konon, memilih tim Belanda sebagai jagoannya. Well, intinya saya pendukung fanatik Belanda.
Tahun-tahun berlalu dengan banyak hal terjadi dalam hidup saya, namun sepakbola selalu punya halaman tersendiri dan Belanda menjadi jingga cerlang (dan juga biru sendu) di lembaran hidup saya. Kadang-kadang memang jingga digantikan biru karena mereka gagal berprestasi: Piala Eropa 1992, 1996, 2000, dan 2004, serta Piala Dunia 1994, 1998, dan 2002 (yang ini bahkan tidak lolos ke putaran final – sungguh membuat hati saya haru biru!). Sementara itu, Marco Van Basten menghuni rubrik khusus di hati saya. Ia menjadi template pria idaman saya dan sempat memotivasi saya untuk mengejar karir menjadi jurnalis seperti ayah saya dengan harapan bisa mewawancarainya. Dan saat di tahun 1995 ia harus menggantung sepatu di usia 30 tahun dengan diiringi airmata pelatih AC Milan saat itu, Fabio Capello, saya pun menangis. Hari itu Belanda biru sendu, bukan jingga cerlang.
Saya mendukung Belanda dengan ikatan emosi yang cukup mendalam. Entah mengapa harus segitunya. Tapi begitulah. Kadang-kadang, dengan tersipu saya akui bahwa saya lebih emosional soal Belanda dibandingkan timnas Indonesia (maafkan aku, Ibu Pertiwi!). Dan ikatan emosi itu meluap lagi tahun ini dengan digelarnya Piala Eropa 2008 karena banyak hal. Tapi, barangkali sosok pelatih Belandalah (dan eks-pria idamanku) yang jadi salah satu alasan utama. Ini dia sosok yang telah memenangkan hampir segalanya sebelum usianya genap 30 tahun: Piala Eropa 1988, Piala Champions dan Piala Super 1989, 1990, 1994, Piala Winners 1987, Piala Toyota 1989, 1990, Juara Liga Belanda bersama Ajax 1982, 1983, 1985, Piala Belanda 1983, 1986, 1987, Juara Liga Italia bersama AC Milan 1988, 1992-1994; dan sebagai individu menjadi FIFA World Player Of The Year 1992, World Footballer of The Year 1988, 1992, dan European Footballer of The Year 1988, 1989, 1992. Jika masih perlu ada penyesalan, satu medali yang gagal diraihnya adalah medali juara Piala Dunia sebagai pemain.
Tahun-tahun yang saya habiskan sebagai pendukung Belanda mengajar saya untuk tidak berharap terlalu banyak. Inilah tim yang memiliki kemampuan teknis individu yang bisa dibilang salah satu yang terbaik di dunia. Namun, mengorkestrasikan individu-individu bertalenta itu menjadi sebuah tim yang padu dan bermental juara bukan perkara yang mudah sama sekali. Dibutuhkan karakter-karakter kuat bergaya militer seperti Rinus Michels (yang dijuluki ‘Sang Jenderal’) dan Guus Hiddink. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketidakkompakan antar-pemain dan juga antara pemain dengan pelatih seringkali menjadi batu sandungan terbesar tim Belanda. Dalam tim saat ini pun, sempat terjadi beberapa perselisihan. Sebelumnya di ajang Piala Dunia 2006, Robin Van Persie berselisih dengan Arjen Robben, sementara Mark Van Bommel dan Ruud Van Nistelrooij berselisih dengan Marco Van Basten sehingga mereka memutuskan pensiun dari timnas Belanda. Namun, Nistelrooij akhirnya bersedia kembali dan sekarang memperkuat timnas Belanda di ajang Piala Eropa 2008 ini.
Jadi, saat Belanda memulai petualangan Eropanya pada tanggal 9 Juni 2008 pukul 20.45 waktu Swiss (01.45 WIB), saya cuma berharap tidak kalah dari Italia, sang Juara Dunia 2006. Bagaimana tidak, pendukung Oranje paling optimis pun tidak bisa menutup mata bahwa rekor tak pernah menang atas Italia selama 30 tahun bicara banyak soal partai pembuka kedua di Grup C tersebut. Ya, seperti kata seorang teman sesama pendukung Belanda, Italia adalah antidot Belanda – catenaccio adalah penawar totaal voetbal. Memang, akhirnya dengan sedikit keberuntungan yang membuahkan gol pertama dari Nistelrooij, Belanda berhasil mempecundangi sang Juara Dunia dengan skor yang melebihi impian terliar saya: 3-0. Beberapa saat setelah peluit panjang mengakhiri pertandingan perdana Belanda, matahari terbit keemasan dan rasanya saya berjalan di padang kembang tulip jingga. Saya bersukacita sekali, hari itu.
Tapi, buru-buru saya daratkan harapan saya yang mulai melambung. Tim Belanda tidak (atau belum) punya karakter juara sebagus Jerman, Italia, dan Perancis. Tim Belanda secara teknis pun saat ini tidak punya benteng pertahanan sekokoh tahun 1998 dan pematah alur serangan lawan sedinamis Edgar Davids dulu. Satu pertandingan tidak membuktikan banyak, kecuali bahwa rekor buruk yang panjang melawan Italia berhasil dipatahkan. Berada dalam grup maut dengan Italia, Perancis, dan Romania jelas tidak mengijinkan saya bermimpi macam-macam. Tidak. Saya tidak berharap banyak. Saya hanya akan menikmati kemenangan kemarin selama saya bisa dan jika lagi-lagi Belanda tidak melangkah jauh, saya akan menganggapnya sebagai kesempatan untuk menikmati pesta sepakbola Eropa secara netral. Banyak tim yang menampilkan permainan yang menarik dan layak ditonton selain Belanda. Tapi, memang, apapun yang terjadi, cinta Oranje saya tidak bisa pudar.
Oranje Boven!
Wednesday, June 11, 2008
Banyak Gol, Juara Bertahan Tumbang
Tuesday, June 10, 2008
Pertarungan Para RAKSASA
Perancis dan Rumania bermain tanpa gairah, dan diwarnai oleh seringnya terjadi salah oper di lapangan tengah. Bola yang berputar di area pertahanan lawan pun jarang berbuah peluang cantik. Tercatat hanya ada 1 tembakan ke arah gawang selama pertandingan 2X45 menit, dan itu milik Perancis. Bagaimanapun, tembakan ke arah gawang tidak berarti apa-apa bila tidak menembus gawang.
Pertandingan kedua telah diantisipasi oleh para penggila bola sebagai partai yang akan berjalan menarik, dan mereka mampu membuktikan nama besar mereka di lapangan. Mulai dengan formasi yang sama persis, namun terbilang baru bagi kedua tim, Belanda mampu menguasai lapangan tengah di awal pertandingan. Dalam suatu kemelut, Christian Panucci harus keluar lapangan, dan ini adalah awal petaka bagi Italia. Bola tendangan keras Wesley Sneijder cukup dibelokkan sedikit oleh Ruud van Nistelrooy untuk membawa Belanda unggul di menit ke-20. Gol itu sebenarnya akan dianulir karena offside, kalau saja tidak ada Panucci yang tergeletak di pinggir lapangan. Berusaha membalas, Italia langsung mengambil alih permainan, namun dalam suatu serangan balik di kiri pertahanan Italia, Giovanni van Bronchorst mengirim umpan ke sisi kanan yang disundul Dirk Kuyt dan dimanfaatkan dengan voli spektakuler Wesley Sneijder tanpa mampu dihalangi Marco Materazzi. Gianluigi Buffon, kiper terbaik dunia pun hanya bisa melongo melihat gawangnya bobol dua kali hanya dalam waktu 5 menit.
Babak kedua Italia berganti mengambil inisiatif menyerang, sesuatu yang biasanya akan berakibat fatal apabila tim ini melawan tim yang punya level permainan setara. Dan terbukti, keadaan tidak jauh berbeda dengan babak pertama, ditambah fakta bahwa pemain Belanda sudah lebih tenang dalam mengkoordinir pertahanannya. Peluang terbaik didapat Luca Toni yang lolos dari jebakan offside, namun sayang tembakannya melambung jauh. Kemudian peluang yang lain didapat dari tendangan bebas Andrea Pirlo yang dengan tenang mampu dibaca Edwin van der Saar, awal petaka berikutnya bagi Italia. Bola serangan balik dibawa Gio yang mengumpan kepada Kuyt. Bola sempat diblok Buffon, namun kembali ke kaki Kuyt, yang kemudian kembali mengumpan kepada Gio dan disambut dengan sundulan. Bola sempat sedikit berbelok mengenai Gianluca Zambrotta sebelum masuk untuk ketiga kalinya ke gawang Italia. Gol penghibur di menit terakhir pun tidak didapat karena Massimo Ambrosini kurang tenang menyambar bola di depan gawang. Kemenangan pertama Belanda atas Italia dalam 30 tahun terakhir, sesuatu yang pantas dirayakan, tapi perjuangan baru saja dimulai.
---.0.---
TU(L)AH TUAN RUMAH
Bukan bermaksud untuk kompak dengan hasil di grup A, namun di pertandingan kedua, Jerman menaklukkan Polandia 2-0 melalui bantuan seorang remaja keturunan Polandia. Polandia yang mendapat giliran bola pertama langsung menggebrak dan memaksa Jens Lehmann membuat blunder, namun tidak dapat dimaksimalkan kapten Maciej Zurawski. Sayang, karena jika mereka memimpin lebih dahulu, mungkin hasilnya tidak seburuk itu. Jerman kemudian mengambil kendali permainan, dan memetik hasilnya melalui sebuah kerjasama indah dari Mario Gomez dan Miroslav Klose, yang dituntaskan oleh Lukas Podolski. Malah mereka bisa unggul lebih cepat, namun Gomez terlambat mengantisipasi umpan Klose, yang lolos dari jebakan offside. Setelah 1-0, Jerman terlihat santai, keadaan yang nyaris harus dibayar mahal memasuki babak kedua. Masuknya Roger Guerreiro menggantikan sang kapten mampu menghidupkan permainan Polandia, dan mereka bermain penuh kreativitas dan energi. Tak ingin mengulang kesalahan 4 tahun lalu, Jerman bangkit dan bertekad untuk mengamankan kemenangannya. Bastian Schweinsteiger masuk dan membuat lini tengah Jerman kembali agresif mengendalikan serangan. Dalam suatu kemelut, bola yang salah ditendang Klose mampir ke kaki Podolski, dan dengan keras dihujamkan ke pojok kiri atas gawang Artur Boruc, 2-0.
Hari ini akan dilangsungkan partai grup "neraka" yang memuat 3 tim juara eropa dan tim unggulan keempat terbaik dari seluruh grup. Rugi jika Anda tidur malam ini.
Monday, June 9, 2008
Acara Pembukaan EURO 2008 Tidak Sesukses Hasil Pertandingan Tuan Rumah
Bermain lebih mengandalkan semangat, Swiss memang terlihat masih agak di bawah Cek dalam teknik permainan. Babak pertama berlangsung tanpa gol dan berimbang, terlihat bahwa kedua tim masih demam panggung. Sial bagi tuan rumah, penyerang yang juga kapten Alexander Frei cedera cukup parah di pertengahan babak sehingga harus diganti dengan Hakan Yakin. Masuk babak kedua Cek mengganti Jan Koller dengan Sverkos, yang terbukti mampu menjebol gawang Swiss dalam sebuah set piece memanfaatkan kelengahan pertahanan lawan. Tak ingin dipermalukan, Swiss bukannya tidak mempunyai peluang. Peluang terbaik didapat saat dalam sebuah kemelut, Tomas Ujfalusi menyentuh bola dengan tangannya. Bola liar kemudian ditendang Yakin, namun dihalau Petr Cech dan bola muntah yang diteruskan Johan Vonlanthen. Satu lagi kejadian yang mirip seperti itu, dengan pelaku yang juga sama, yaitu Ujfalusi, semakin menambah kelabu hari bagi masyarakat Swiss.
Pemain pengganti pula yang membuat perbedaan dalam pertandingan kedua Grup A, Portugal-Turki. Bermain imbang di babak pertama, diselingi gol dari bek Portugal, Pepe, yang dianulir wasit karena offside, Portugal memantapkan keunggulan melalui gol kedua oleh pemain pengganti Raul Meireles, setelah gol pertama oleh... (lagi-lagi) Pepe! Turki terlihat bermain keras menjurus kasar untuk mengimbangi teknik pemain-pemain Portugal di babak pertama, strategi yang berhasil menahan Portugal di babak pertama. Hamit Altintop yang mendadak harus bermain di posisi bek kanan, mampu menjaga daerah kanan pertahanan timnya, yang lebih sering diserang melalui pergerakan Simao Sabrosa. Bahkan kerjasamanya dengan Mehmet Aurelio mampu merepotkan sisi kiri pertahanan Portugal. Sayang, itu belum cukup untuk membawa Turki lolos dari hadangan Portugal.
Upacara pembukaan berlangsung meriah dan sukses. Sayang kesuksesan di perandingan hari pertama bukan menjadi milik tuan rumah. Akankah Austria, tuan rumah yang lain, mampu menampilkan hasil yang lebih baik? Kita tunggu saja nanti.
Saturday, June 7, 2008
EURO 2008 - SUISSE & OSTERRISCH
Mata2 dunia skrg sdg mnju AUT-SUI mnyambut EURO '08, & tdk akn lepas dr sana smp 1 bln ke dpn. Wjr, EURO srg dianggap sbg PD kcl, bhkn byk jg yg m'anggap sbg PD ke-2. 16 tim yg trbagi dlm 4 grup akn brlaga mnju partai pnck di Wina. Mlm ini akn dilgskan partai pertama antr SUI-CZE di Basel.
Lgkpny, brkut adlh pmbagian grup EURO '08
A
SUI
POR
CZE
TUR
B
AUT
GER
CRO
POL
C
FRA
ITA
NED
ROM
D
GRE
SPA
SWE
RUS
Dr rmh, pnulis m'ucapkn: Slmt mnikmati EURO brsama cmilan msg2
Friday, June 6, 2008
'08 NBA Finals: Game 1
Derek Fisher and Pau Gasol led their team with double digit, while Kevin Garnett and Rajon Rondo did the same with the opposite in the first half. Kobe Bryant himself shot a dismal 35 percent, with his best came in the 3rd quarter when he scored 12 on 5-for-10 field goals and 2-for-2 free throws. The other BIG 3 beside Garnett also had a terrible first half, scoring a low 3-point for both Ray Allen and Paul Pierce.
The momentum for Celtics came at the start of the 3rd quarter when Pierce was fouled by Vladimir Radmanovic and precisely hit the 3-point-field-goal, then followed by a free throw to make it a four-point-play. With their rugged defensive scheme still made difficult for Kobe to easily made shot after shots, meant that Coach Jackson must find other sidekicks to balance the game and gain another lead. When the red hot Pierce accidentally sprained his foot behind teammate Kendrick Perkins, the future seemed bleak and the momentum could turn around. But the Celtics could hold on, even tied the game when Allen came from nowhere to score a wide-open-3pt. It couldn't be better when the fans at the Garden saw Pierce walking into the court once again, proving he wasn't seriously injured. Even worse than before, for the Lakers, Pierce hit back-to-back 3-point-field-goals to make it a lead for good.
Going into the 4th with 4-point-behind, the Lakers were troubled by their players' foul and still couldn't find any solutions to Celtics' defense. Now they're going to have a 2-day break to find out how to dismantle their opponent's spiderweb, before the series shifts to their homeground next tuesday.
Next: Game 2 is Sunday, 8 June 2008, 9:00 PM (ET) at TD Banknorth Garden.
Thursday, June 5, 2008
TIME FOR GLORY, A REPEATED 1908 SEASON?
It may not the end of the season, but time seems on their side, as CHICAGO CUBS claim Major League's best record, 38-22 (.633), their first feat since 1908. And if you don't remember -- no wonder if you don't --, the last time they achieved it was also the last time they won the World Series. After the first away game win at San Diego 7-6 behind a boost by Carlos "Big-Z" Zambrano, they extend their winning streak by 9 in a 9-6 win, before the Padres bounced back by a superb performance by ex-Cub Greg Maddux, only allowing 3 hits, all in the 4th inning that resulted the only point Cubs scored.
Other MLB team who has above .600 record is LOS ANGELES ANGELS, with the defending champ BOSTON RED SOX trailing Angels by 0.5 just a month before All-Star break.
--quoted from mlb.com:
The Cubs went undefeated on a homestand for the first time since April 14-26, 1970. Just about everything is clicking.
"I think we're playing baseball right now the way we're supposed to play," Cubs star ALFONSO SORIANO said. "We're playing baseball the right way."
His manager agreed.
"Well, the homestand couldn't have been better," Cubs skipper LOU PINIELLA said. "Everybody on the roster contributed on this homestand, which is really, really nice to see. ... These guys are playing hard, and it's a nice brand of baseball that they're playing."
Now, can they take the momentum on the road? Trips to San Diego and Los Angeles are on the docket. The Cubs have gone 10-13 away from Wrigley so far, but Soriano believes the team has meshed over the last week.
"We want to play better on the road," Soriano said. "Now, the team is together, so we know what we have to do. The team is playing like a team now. Sometimes [when] we have a rough road trip, we're just not comfortable. Now, I think everybody has pulled everything together. We're in good position."
2008 NBA Finals: Yang Klasik Pasti Asik!
Penggemar basket di dunia ini sedang menantikan final dari liga termenarik di dunia (itulah klaim arogan dari orang amerika sono; bahkan mereka mengklaim juara liga negaranya sebagai "World Champion"!), dalam pagelaran bertajuk "2008 NBA Finals".
Klasik! Begitu komentar sebagian besar penggemar -- sedikit yang tidak berkomentar seperti itu adalah orang-orang yang jarang membaca berita NBA, atau memang membenci kedua tim ini sekaligus -- , dan memang tidak salah, karena BOSTON CELTICS dan LOS ANGELES LAKERS telah bertemu 11 kali, rekor terbanyak dalam partai final NBA. Jumlah gelar dan partisipasi mereka di ajang final pun menempati 2 peringkat atas. Celtics masih memegang rekor juara terbanyak dengan 16 kali (20 kali masuk final, termasuk 2008), disusul Lakers dengan 14 kali (29 final, termasuk 2008); sementara tim lain masih berjuang untuk dapat meraih gelar dengan jumlah 2 digit, atau sekedar masuk final.
Lalu, bagaimana dengan hasil pertemuan mereka? Celtics menang 8 kali dalam 10 kali final sebelum ini. Di masa-masa awal NBA, mereka begitu perkasa dengan bintangnya Bill Russell dan pelatih Arnold Jacob "Red" Auerbach tidak mampu ditandingi oleh bintang Lakers seperti Elgin Baylor dan Wilt Chamberlain. Dua kemenangan Lakers diperoleh di era 80an, saat terjadi pertarungan antara 2 legenda NBA, Larry Bird (Celtics) dan Earvin "Magic" Johnson (Lakers). Dan sejak 1987, mereka harus menunggu 21 tahun untuk dapat bertemu lagi dalam partai terbesar di sepanjang kompetisi ini. Suatu partai yang tentunya juga sangat dinantikan oleh para petinggi ABC, karena mereka sangat berharap bahwa rating final kali ini tidak seburuk musim lalu (baca ini).
Sedikit analisa berdasarkan pertemuan kedua tim di musim reguler, Celtics mengungguli Lakers dalam 2 pertemuan kandang dan tandang. Celtics mempunyai rekor 10-1 di kandang dan 2-7 saat bertandang selama playoff wilayah Timur; sementara Lakers mencatat rekor sempurna 8-0 di kandang dan 4-3 di kandang lawan. Melihat keadaan ini, kemenangan kandang tetap menjadi kunci, dimana Celtics diuntungkan karena memiliki rekor reguler yang lebih baik dari rivalnya. Namun Lakers sendiri mempunyai kelebihan di sisi permainan saat bertandang, dimana mereka baik sekali dalam menghadapi partai-partai krusial di kandang lawan, seperti saat melawan DENVER NUGGETS, UTAH JAZZ, maupun SAN ANTONIO SPURS; suatu hal yang justru kebalikannya terjadi pada Celtics: mereka tidak pernah menang saat tandang ke ATLANTA HAWKS dan CLEVELAND CAVALIERS. Untungnya mereka mampu mengambil 2 partai di kandang DETROIT PISTONS sehingga mental mereka membaik menghadapi partai tandang di final.
Pertarungan antar protagonis akan melibatkan MVP NBA 2008 KOBE BRYANT dan Pemain Bertahan Terbaik 2008 KEVIN GARNETT. Bryant akan dibantu oleh Derek Fisher, Vladimir Radmanovic, Lamar Odom, dan Pau Gasol. Sedangkan bintang yang berdiri di sisi Garnett adalah Rajon Rondo, Ray Allen, Paul Pierce, dan Kendrick Perkins. Dari sisi pengalaman, hampir tidak ada bedanya kalau melihat lama bermain di NBA, hanya saja Lakers dapat disebut lebih berpengalaman karena beberapa pemainnya sudah mempunyai cincin juara NBA, sementara di kubu Celtics hanya James Posey dan Sam Cassell yang mempunyai cincin juara. Dalam situasi seperti ini, pengalaman di final mempunyai dampak besar, sehingga Lakers lebih diunggulkan dapat pulang membawa gelar tahun ini, sekaligus mendekati perolehan gelar rival beratnya itu.
Apa pun tim pilihan anda, selamat menikmati 2008 NBA Finals!