*****
Saya tidak tahu banyak mengenai negara-negara Eropa Timur, kecuali mungkin Rusia karena saya mengagumi kesusasteraannya, terutama kedua pujangga besarnya: Leo Tolstoi dan Fyodor Dostoyevski. Di luar itu, lagi-lagi cuma olah raga, sepakbola khususnya, yang menyingkap sedikit tirai pengetahuan mengenai Eropa Timur macam Hongaria, Romania, Ceska, Slovakia, dan sekitarnya. Jadi, jika orang bertanya, "Apa yang kau tahu tentang Romania?" Jawaban saya mungkin: Georghe Hagi, Adrian Mutu, Cristian Chivu (yang ini favorit saya), dan Nadia Comăneci. Oke, tambahkan Drakula deh, Transilvania kan bagian dari Romania. Lain itu, soal seni budaya dan seterusnya pengetahuan saya nol, demikian pula minat untuk mengenal lebih jauh.
Kemarin siang, saya diajak menghadiri lunch meeting oleh salah satu bank rekan bisnis perusahaan tempat saya bekerja. Pikir saya, mbok kalau mau makan siang ya makan siang saja; mengapa harus pakai acara rapat sekaligus? Tapi, karena dijamu dan atasan sedikit memaksa saya ikut, ikutlah saya. Mereka bawa pasukan, kami bawa pasukan. Setelah berkenalan, makan siang sambil rapatnya pun dimulai. Di samping saya, duduk seorang mbak yang wajahnya seperti orang India. Pembicaraan berayun dari soal bisnis, teknologi, isu perumahan rakyat, dan akhirnya kena juga favorit saya: sepakbola. Ternyata si Mbak itu mengikuti juga Piala Eropa yang sedang berlangsung dan mendukung, coba tebak: Romania. Kenapa? Karena ibunya orang Romania (asli). Maaf, kalau saya sedikit norak, tapi rasanya lumayan luar biasa bisa punya kenalan seseorang yang berdarah Romania. Si Mbak pun kontan berkata, "Wah, berarti kita musuh," begitu mengetahui saya pegang Belanda. Namun, dasar pendukung Oranje angkuh, saya dengan kalem mengatakan bahwa Romania bukan musuh bagi Belanda (karena dianggap nggak selevel tentunya) dan bahwa bagi pendukung Belanda, musuh terbesar adalah Jerman.
Tengah malam tadi, sembari menanti siaran langsung pertandingan tak menentukan bagi Belanda melawan Romania, saya berpikir, betapa semua ini di luar dugaan saya dan banyak penggemar sepakbola lainnya. Semula saya kira Belanda akan dipaksa berjuang hingga tetes keringat dan detik terakhir untuk sekedar lolos ke perempat final. Pertandingan melawan Romania akan menjadi sangat menarik karena dua-duanya mungkin masih punya kesempatan lolos mendampingi favorit juara, entah Italia entah Perancis, yang diprediksikan lolos terlebih dulu.
Tapi, prakiraan dan analisa banyak orang ditunggang-balikkan dengan performa Belanda di dua pertandingan sebelumnya. Dan saya kira, Victor Piturcă pun salah perhitungan. Setelah berhasil mengambil 4 poin dari Belanda di kualifikasi Piala Eropa, mungkin ia berpikir kalau bisa menahan imbang Perancis dan Italia lantas menang lawan Belanda maka mereka punya kesempatan besar lolos ke babak berikutnya. Prakiraan tinggal prakiraan. Sekarang, mereka harus menang kalau mau pasti lolos ke perempat final. Jadi, harapan saya, pertandingan ini akan tetap menarik karena meskipun Belanda menurunkan lapis keduanya, Romania akan memaksa Belanda bermain bola sungguhan. Hasilnya mungkin sekedar seri, tapi paling tidak disuguhi permainan menarik dan Van Basten tidak (kelihatan) mengalah begitu saja agar Italia dan Perancis pulang kampung.
Ternyata, dugaan saya salah. Romania seperti vampir yang belum minum darah lagi. Mereka bermain tanpa semangat juang dan tidak menunjukkan mereka niat menang. Tadinya, saya berharap mereka telah belajar dari Turki yang pantang menyerah dan akhirnya bisa memulangkan Petr Cech dan kawan-kawan ke Praha sana. Namun, kenyataannya meskipun Belanda sudah kelihatan santai dan tidak ngoyo, Romania tidak cukup berusaha menekan Belanda. Memang dari mulanya, mereka lebih mengutamakan pertahanan (yang sebenarnya ironis karena pelatihnya juga mantan striker hebat). Tapi tentunya dengan perhitungan bahwa begitu ada kesempatan mencetak gol, ya dimanfaatkan dong sebaik-baiknya. Sekian tendangan berlalu dari Adrian Mutu, Marius Niculae, dan Cristian Chivu yang mengarah ke gawang Belanda, tak ada yang berhasil merobek jala di belakang Maarten Stekelenburg. Sementara di pertandingan yang lain, Italia sudah memimpin 1-0. Wah, di mana keganasan Drakulanya? Sementara itu, di pihak Belanda, Robin Van Persie, Arjen Robben, dan Klaas-Jan Huntelaar masing-masing berlatih menembak dan (seperti sengaja) gagal.
Saya mulai bosan di sepertiga babak pertama. Rasanya seperti berkencan dengan pria pendiam yang takut memulai ‘serangan’ setelah sebelumnya berkencan dengan dua pria lain yang bisa memacu adrenalin dan membuat tereksitasi. Babak kedua pun tak jauh berbeda. Malah akhirnya, Belanda yang ‘terpaksa’ mencetak gol karena dibiarkan bermain bebas tanpa perlawanan yang cukup berarti. Terus terang saya kecewa berat. Kalau tuan rumah Swiss saja masih mau berjuang biarpun sudah pasti tidak lolos, mengapa Romania yang harusnya lebih berpeluang maju ke perempat final justru lesu darah begini? Oke, jujur pula saya akui, saya berharap Perancis dan Italia (apalagi Italia!) tidak lolos seperti kebanyakan pendukung Oranje lainnya. Jadi, memang Romania bikin gemas dan gregetan dengan keloyoannya itu.
Ketika kemudian pertandingan mendekati akhir dan teks berjalan di layar membocorkan berita bahwa Italia telah menambah keunggulan atas Perancis menjadi 2-0, saya makin jemu melihat pasukan drakula tanpa taring itu. Apalagi lantas Robin Van Persie menambahkan lagi satu gol tiga menit menjelang peluit panjang. Habis sudah Romania dan seluruh Italia bersorak bahagia: FORZA ITALIA!
Ah, ternyata, akhirnya Sang Drakula hangus juga dimakan api Jingga.
Oranje Boven!
No comments:
Post a Comment