Saya selalu terpesona dengan Perancis: bahasanya, filmnya, Parisnya, anggurnya, Asterixnya, dan banyak lagi. Bahasanya yang indah dan seksi kedengarannya membuat kita mungkin tidak akan cepat sadar kalau sebenarnya sedang dicaci-maki. Filmnya yang cenderung lebih nyeni daripada film-film komersil dari Amerika sana membuat saya memaksa diri belajar bahasa Perancis agar tidak selalu terpaku dengan teks terjemahan. Paris, yang konon salah satu kota paling romantis di dunia, masuk dalam daftar cita-cita kunjungan saya – meskipun, yang lebih menarik bagi saya adalah arsitektur dan karya-karya seni yang ada di sana, bukan romansanya. Lalu, remaja 90-an mana yang tidak suka komik Asterix? Ya, Perancis memang cantik dan elegan, tapi juga punya cita-rasa humor yang renyah.
Oh, ya, satu hal penting lain (yang merupakan salah satu yang terpenting bagi saya): Perancis juga punya Zinedine Zidane. Saya dulu menyebutnya salah satu Dewa sepakbola saking terpesonanya dengan permainannya yang selain berteknis luar biasa, juga cerdas. Tidak heran kalau Perancis berjaya di masanya. Michel Platini pun tidak mampu memenangkan segalanya, tapi Zidane bisa. Bahkan di akhir karir gemilangnya, dia masih sempat membawa Perancis ke final Piala Dunia 2006. Saya pikir, tanpa provokasi Matterazi, Perancis akan menjadi juara dunia untuk kedua kalinya saat itu. Well, nasib berbicara lain dan Italia juara. Hidup harus terus berjalan.
Dua tahun dalam kalender sepakbola berlalu. Zizou tinggal kenangan. Tapi Perancis punya bakat-bakat baru, tentu saja, seperti Franck Ribéry, Samir Nasri, Karim Benzema, Sidney Govou dan lain-lain. Sementara para veteran dengan nama besar pun belum semuanya pensiun; masih ada Thierry Henry, Lilian Thuram, William Galas, Patrick Vieira, dan Claude Makalele. Jadi, sungguh menciutkan hati tatkala saya melihat bahwa tim Oranje saya harus ditempatkan satu grup dengan Perancis (dan Italia!). Duh, mimpi buruk apa? Belanda yang sekarang bukan Belanda dua puluh atau sepuluh tahun yang lalu. Tidak pernah kekurangan penyerang, memang; tapi, tidak punya kekuatan pertahanan yang cukup juga. Pelatihnya pun mantan striker dan penganut filosofi totaal voetbal secara total pula sehingga agak susah diajak me-modif sedikit skema permainannya. Sekali 4-3-3, tetap 4-3-3. Mosok Belanda main dengan skema bertahan 4-5-1 (atau variannya)? Walhasil, saya jadi menyiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan bahwa Belanda tidak lolos penyisihan grup. Pikir saya, paling tidak toh masih lolos ke putaran final dan bisa ikut meramaikan di minggu pertama pesta sepakbola Eropa. Sudah itu, ya jadi penonton netral saja.
Tapi, orang bijak dan pintar biasanya tidak selalu benar. Yang membedakan mereka adalah belajar dari pengalaman dan kesalahan serta mau beradaptasi. Jadi, saya senang saat melihat line-up Belanda melawan Italia. Pikir saya saat itu, wah, bisa lah seri. Menit-menit berlalu. Lho, kok mainnya keren begini? Lho, kok golnya Nistelrooij nggak dianulir (terima kasih, Bu Dewi Fortuna!)? Lho, kok bisa memanfaatkan serangan balik dengan sedemikian dahsyat efektivitasnya? Lho, kok…menang?!!! Lawan Italia! Setelah 30 tahun! Ijinkan saya histeris sedikit. Besok-besok lawan Perancis belum tentu menang lagi soalnya. Seorang pengamat sepakbola yang cukup dipandang di sebuah komunitas sepakbola yang saya ikuti pun bilang, pertahanan Perancis masih nomor satu. Oke. Fine. Saya juga sudah senang kok bisa menang lawan Italia.
Hari Jumat lalu, saya mengakhiri hari dengan bermain bowling dengan beberapa teman meskipun sebenarnya agak sedikit demam. Maksudnya, biar paling tidak saya sempat bersenang-senang dulu sebelum bersakit-sakit (hati) kemudian JIKA Belanda kalah. Bayangan saya adalah Belanda akan berusaha menggedor pertahanan Perancis, frustasi, lantas dengan lucunya Thierry Henry akan mencetak gol kemenangan Perancis. Lalu, saya harus bersiap-siap dengan segala SMS ledekan dan celaan soal kekalahan Belanda. Begitu perkiraan saya.
Sabtu, 14 Juni 2008 01.45 WIB. Saya berbaring di tempat tidur menatap monitor saat lagu kebangsaan kedua negara yang bertanding dikumandangkan. Ah, kata saya dalam hati, saya harus mempelajari lagu kebangsaan Perancis "La Marseillaise" karena nada refrainnya bikin bersemangat: "Marchons! Marchons! Qu’un sang impur…abreuve nos sillons!" (Maju! Maju! Biar darah tak murni mereka membasahi ladang kita!). Sebenarnya, lagunya lumayan horor kalau diterjemahkan, mungkin karena dibuat saat revolusi Perancis yang penuh genangan darah. Anyway, saya cukup tenang menonton pertandingan besar ini dimulai. Bahkan saat Dirk Kuyt mencetak gol pertama, saya senang tapi perjalanan masih panjang, sekitar 80 menit lagi. Segalanya masih bisa terjadi. Apalagi kemudian saya lihat bagaimana Ribéry demikian merepotkan dan dengan Govou berhasil menguji keabsahan klaim bahwa Edwin Van der Saar adalah salah satu penjaga gawang terbaik dunia.
Babak kedua dimulai dan tak lama kemudian, Marco Van Basten membuat perubahan yang mungkin bikin beberapa orang mengernyitkan dahi. Direpotkan serangan lawan kok malah masukin dua sayap? Tapi, entah kenapa saya setuju dengan taktiknya. Pertahanan Perancis harus dibikin lebih repot lagi agar pemain tengahnya gak bisa dengan santai bantu-bantu mbolongin pertahanan Belanda. Jadi ketika tidak lama kemudian Robin Van Persie membuat skor menjadi 2-0 untuk Belanda, saya mulai histeris. Baru bisa agak tenang sedikit ketika saya melihat masih setengah jam lagi, waktu yang cukup untuk Perancis mengejar ketinggalan. Dan benar saja, sepuluh menit kemudian saya dengan gugup menggigit bibir sendiri ketika Thierry Henry mencetak gol balasan. Oh! Yang penting jangan kalah. Tapi, dalam sekelebatan, Arjen Robben tahu-tahu sudah ada di ujung lapangan sana dan terciptalah sebuah gol cantik dari sudut yang aneh. Lilian Thuram, Willy Sagnol dan William Gallas tidak bisa mencegah lebih baik dari yang sudah mereka usahakan. Paling tidak, menurut mata awam saya.
Ah, betapa pertandingan ini menjadi sajian sepakbola indah yang memanjakan pecinta Oranje! Finalis Piala Dunia 2006 menjadi obyek taklukan Belanda berikutnya. Kurang alasan apa lagi bagi seorang gadis penggila timnas Belanda buat bersorak kegirangan? Well, kurang satu gol lagi. Wesley Sneijder yang sudah sukses menjadi otak serangan Belanda bersama Rafael Van der Vaart, menutup pertandingan ini dengan sebuah tendangan jarak jauh yang membuahkan gol gagah yang masuk tipis di bawah mistar gawang. Skor akhir Belanda 4 Perancis 1. Dan saya secara resmi histeris. Merci, Monsieurs, mais je préfère l’équipe de Pays-Bas! Thank you, Gentlemen, but I prefer the Netherlands’ team!
Seluruh mata dunia kini menatap Belanda dengan lebih serius dibandingkan kemarin-kemarin. Itulah resikonya berhasil mempecundangi Italia dan Perancis. Ekspektasi orang melesat bagai roket oranye pesat ke langit biru. Tapi, tidak ekspektasi saya. Saya cuma mau menikmati padang bunga tulip jingga selama belum layu. Itu saja sudah cukup. Lebih dari itu, bonus!
Oranje Boven!
No comments:
Post a Comment