Oleh Free Savannah
Jakarta, Juni 1988
Seorang gadis tiga belas tahun sedang berjuang sekaligus menikmati masa remajanya yang complicated. Dia masih menyukai hal-hal maskulin dari masa kecilnya yang ramai dengan sepupu laki-laki, paman, kakak laki-laki, dan lebih banyak teman bocah laki-laki. Tapi, dia mulai merasa bahwa jerawat di wajahnya membuatnya tidak cantik di mata teman-teman (terutama yang cowok) dan kakak kelas yang menghuni kelasnya di pagi hari membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Jadi, sungguh sensasi yang aneh bin lucu khas ABG, bahwa aktivitas seperti nonton sepakbola di tivi dan nongkrong dengan teman-teman cowok yang jago basket harus bercampur dengan mematut wajah lebih lama daripada waktu SD dulu dan menulis puisi cinta (monyet pastinya) tentang kakak kelas yang (dulu kayaknya) ganteng banget.
Lantas, Piala Eropa edisi 1988 pun bergulir. Dia bela-belain nonton tentu saja. Waktu tayang yang pagi buta tidak pernah menjadi masalah buatnya sejak ayah dan ibunya memperkenalkannya dengan sepakbola dunia di tahun 1986. Dia sudah tahu siapa itu John Barnes, Gary Lineker dan Michel Platini, Franz Beckenbauer dan Lothar Matthaeus, dan Ruud Gullit yang sebelumnya sempat berkunjung ke Jakarta dengan klub lamanya, juara Piala Champions 1987-1988 PSV Eindhoven. Dan kemudian, dia ‘berkenalan’ dengan Paolo Maldini yang baru berusia 19 tahun dan tampan rupawan. Buat gadis tiga belas tahun, rasanya dia pria paling pas. Namun, beberapa pertandingan berlalu dan tiba saatnya Belanda mengadu totaal voetball-nya dengan Inggris. Dia pun terpaku pada sosok berbalut kaos Adidas jingga bernomor punggung 12. Mulai detik itu, hatinya cuma buat tim Oranje. Paolo Maldini terlupakan dan baginya cuma ada satu: Marco Van Basten.
Sementara itu, liburan sekolah sudah tiba. Dunianya sekarang melulu sepakbola Eropa. Kakak kelas yang jadi tema puisinya tak semenarik sebulan yang lalu. Dan seperti gadis-gadis ABG lainnya, dengan cepat hatinya pun beralih.
*****
Jakarta, Juni 2008
Sudah dua puluh tahun berlalu sejak saya secara resmi menggilai tim Belanda yang juara Piala Eropa 1988. Saya tetap menggilai mereka sampai sekarang. Kenapanya memang bisa banyak alasannya. Bisa soal sepakbola menyerang dan menawan yang mereka tampilkan, bisa juga soal keterkaitan budaya karena darah PeJAmbon (Peranakan Jawa Ambon) saya. Kebanyakan orang yang berdarah Ambon, konon, memilih tim Belanda sebagai jagoannya. Well, intinya saya pendukung fanatik Belanda.
Tahun-tahun berlalu dengan banyak hal terjadi dalam hidup saya, namun sepakbola selalu punya halaman tersendiri dan Belanda menjadi jingga cerlang (dan juga biru sendu) di lembaran hidup saya. Kadang-kadang memang jingga digantikan biru karena mereka gagal berprestasi: Piala Eropa 1992, 1996, 2000, dan 2004, serta Piala Dunia 1994, 1998, dan 2002 (yang ini bahkan tidak lolos ke putaran final – sungguh membuat hati saya haru biru!). Sementara itu, Marco Van Basten menghuni rubrik khusus di hati saya. Ia menjadi template pria idaman saya dan sempat memotivasi saya untuk mengejar karir menjadi jurnalis seperti ayah saya dengan harapan bisa mewawancarainya. Dan saat di tahun 1995 ia harus menggantung sepatu di usia 30 tahun dengan diiringi airmata pelatih AC Milan saat itu, Fabio Capello, saya pun menangis. Hari itu Belanda biru sendu, bukan jingga cerlang.
Saya mendukung Belanda dengan ikatan emosi yang cukup mendalam. Entah mengapa harus segitunya. Tapi begitulah. Kadang-kadang, dengan tersipu saya akui bahwa saya lebih emosional soal Belanda dibandingkan timnas Indonesia (maafkan aku, Ibu Pertiwi!). Dan ikatan emosi itu meluap lagi tahun ini dengan digelarnya Piala Eropa 2008 karena banyak hal. Tapi, barangkali sosok pelatih Belandalah (dan eks-pria idamanku) yang jadi salah satu alasan utama. Ini dia sosok yang telah memenangkan hampir segalanya sebelum usianya genap 30 tahun: Piala Eropa 1988, Piala Champions dan Piala Super 1989, 1990, 1994, Piala Winners 1987, Piala Toyota 1989, 1990, Juara Liga Belanda bersama Ajax 1982, 1983, 1985, Piala Belanda 1983, 1986, 1987, Juara Liga Italia bersama AC Milan 1988, 1992-1994; dan sebagai individu menjadi FIFA World Player Of The Year 1992, World Footballer of The Year 1988, 1992, dan European Footballer of The Year 1988, 1989, 1992. Jika masih perlu ada penyesalan, satu medali yang gagal diraihnya adalah medali juara Piala Dunia sebagai pemain.
Tahun-tahun yang saya habiskan sebagai pendukung Belanda mengajar saya untuk tidak berharap terlalu banyak. Inilah tim yang memiliki kemampuan teknis individu yang bisa dibilang salah satu yang terbaik di dunia. Namun, mengorkestrasikan individu-individu bertalenta itu menjadi sebuah tim yang padu dan bermental juara bukan perkara yang mudah sama sekali. Dibutuhkan karakter-karakter kuat bergaya militer seperti Rinus Michels (yang dijuluki ‘Sang Jenderal’) dan Guus Hiddink. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketidakkompakan antar-pemain dan juga antara pemain dengan pelatih seringkali menjadi batu sandungan terbesar tim Belanda. Dalam tim saat ini pun, sempat terjadi beberapa perselisihan. Sebelumnya di ajang Piala Dunia 2006, Robin Van Persie berselisih dengan Arjen Robben, sementara Mark Van Bommel dan Ruud Van Nistelrooij berselisih dengan Marco Van Basten sehingga mereka memutuskan pensiun dari timnas Belanda. Namun, Nistelrooij akhirnya bersedia kembali dan sekarang memperkuat timnas Belanda di ajang Piala Eropa 2008 ini.
Jadi, saat Belanda memulai petualangan Eropanya pada tanggal 9 Juni 2008 pukul 20.45 waktu Swiss (01.45 WIB), saya cuma berharap tidak kalah dari Italia, sang Juara Dunia 2006. Bagaimana tidak, pendukung Oranje paling optimis pun tidak bisa menutup mata bahwa rekor tak pernah menang atas Italia selama 30 tahun bicara banyak soal partai pembuka kedua di Grup C tersebut. Ya, seperti kata seorang teman sesama pendukung Belanda, Italia adalah antidot Belanda – catenaccio adalah penawar totaal voetbal. Memang, akhirnya dengan sedikit keberuntungan yang membuahkan gol pertama dari Nistelrooij, Belanda berhasil mempecundangi sang Juara Dunia dengan skor yang melebihi impian terliar saya: 3-0. Beberapa saat setelah peluit panjang mengakhiri pertandingan perdana Belanda, matahari terbit keemasan dan rasanya saya berjalan di padang kembang tulip jingga. Saya bersukacita sekali, hari itu.
Tapi, buru-buru saya daratkan harapan saya yang mulai melambung. Tim Belanda tidak (atau belum) punya karakter juara sebagus Jerman, Italia, dan Perancis. Tim Belanda secara teknis pun saat ini tidak punya benteng pertahanan sekokoh tahun 1998 dan pematah alur serangan lawan sedinamis Edgar Davids dulu. Satu pertandingan tidak membuktikan banyak, kecuali bahwa rekor buruk yang panjang melawan Italia berhasil dipatahkan. Berada dalam grup maut dengan Italia, Perancis, dan Romania jelas tidak mengijinkan saya bermimpi macam-macam. Tidak. Saya tidak berharap banyak. Saya hanya akan menikmati kemenangan kemarin selama saya bisa dan jika lagi-lagi Belanda tidak melangkah jauh, saya akan menganggapnya sebagai kesempatan untuk menikmati pesta sepakbola Eropa secara netral. Banyak tim yang menampilkan permainan yang menarik dan layak ditonton selain Belanda. Tapi, memang, apapun yang terjadi, cinta Oranje saya tidak bisa pudar.
Oranje Boven!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment