*****
Seringkali saya mempertanyakan kewarasan saya sendiri kalau memikirkan betapa kuat ikatan emosi yang saya miliki dengan dua tim sepakbola dunia: Liverpool FC dan Belanda. Saya bukan penduduk pribumi Liverpool dan jelas bukan pula warga negara Belanda. Ketika saya lebih muda dulu, emosi saya mudah sekali dipengaruhi hasil pertandingan sepakbola tim-tim yang saya dukung. Saat menang, saya senang dan menyenangkan orang lain. Saat kalah, saya sedih dan bisa menjadi orang paling menyebalkan sedunia. Dan gilanya, saya perempuan. Perempuan harusnya sedih karena bertengkar dengan kekasih atau putus cinta. Well, itu juga bikin saya sedih dulu; tapi, sepakbola punya efek psikologis yang sama parahnya. Entah mengapa harus segitunya.
Dua puluh tahun yang lalu saya bersorak histeris bersama seluruh negeri Belanda, pendukung timnas Belanda di dunia, Rinus Michels, Marco Van Basten, Ruud Gullit, Hans Van Breukelen, Ronald Koeman, Frank Rijkaard, dan seluruh pemain Belanda saat mereka juara Piala Eropa. Lalu sepuluh tahun kemudian, airmata saya menjadi bagian sungai kesedihan di dataran rendah Hollanda saat Marc Overmaars menangis dan Belanda terhenti di semifinal Piala Dunia. Lantas sekarang apa?
Tidak ada airmata untuk Belanda minggu pagi kemarin. Entah mengapa, saya sudah jauh-jauh hari berpikir Belanda tidak akan berprestasi bagus di Euro 2008 ini. Dari sisi undian grup yang jauh dari menguntungkan saja sudah membuat saya tidak bernafsu berkhayal terlalu tinggi. Belum lagi secara teknis, tim Belanda tahun ini sebenarnya sangat rapuh secara defensif. Orang-orang yang tidak mengikuti bagaimana Belanda menjalani babak kualifikasi mungkin akan teperdaya begitu Belanda bisa memenangkan pertandingan melawan Italia dan Perancis. Tapi, tidak saya. Italia dan Perancis mengijinkan Belanda bermain sesuai keinginan mereka, mencoba melayani permainan mereka dan gagal. Romania bahkan membiarkan Belanda melakukan apa saja tanpa banyak usaha untuk mencegah Belanda memenangkan pertandingan. Tidak ada yang berusaha menihilkan permainan Belanda. Namun, saat peluit panjang di Berne, Swiss ditiup menandai kesempurnaan kiprah Belanda di fase grup, saya berpikir bahwa semua ini terlalu mudah.
Keesokan hari sesudahnya, saya mengikuti pertandingan Rusia melawan Swedia dengan ketertarikan yang besar. Sejak menonton pertandingan Rusia melawan Spanyol, saya berpendapat Rusia sebenarnya menampilkan permainan menyerang dan cepat yang atraktif - khas tim besutan Guus Hiddink. Hanya demam panggung saja yang membuat pertahanan mereka bobol terlalu gampang saat itu, dan tidak adanya satu nama yang saya tak kenali: Andrei Arshavin. Ya, saya memang meremehkan UEFA Cup dan tidak peduli dimenangkan oleh Zenith St Petersburg dengan membantai Bayern Munich 4-0 di semifinal dan Glasgow Rangers 2-0 di final. Akibatnya, saya tidak kenal siapa Arshavin.
Anyway, saya benar-benar tidak dikecewakan menonton partai Swedia vs Rusia. Rusia bermain rapi saat bertahan dan menyerang. Mereka tidak membiarkan pemain-pemain Swedia berkembang permainannya dan dengan efektif mampu meredam permainan Swedia yang konon secara teknis lebih diunggulkan dan secara fisik pun rata-rata lebih tinggi besar dibandingkan para pemain Rusia. Di samping itu, yang saya kagumi adalah determinasi mereka untuk bertarung dan merebut bola, lalu dengan cepat berbalik dari bertahan ke menyerang dengan serangan balik yang mematikan. Mereka memang berhak menang atas Swedia dan Arshavin memang sosok orkestrator serangan Rusia yang menjadi kartu As Hiddink.
Dan saya pun termangu. Ini bukan lawan yang semula saya harapkan di perempat final untuk tim Oranje saya. Guus Hiddink saja tanpa kualitas yang memadai tidak akan cukup untuk meredam Belanda. Namun, Guus Hiddink dengan sekumpulan pemain yang punya kualitas teknis yang cukup dan determinasi yang tinggi, sungguh bukan kombinasi yang akan menguntungkan Belanda. Dengan cemas, saya mengirimkan SMS dan YM sana-sini untuk mencari teman yang bisa meruntuhkan ketakutan saya soal Rusia. Kebanyakan orang tidak memandang Rusia sebagai lawan sebanding. Namun, otak dan hati saya seperti sepakat mengatakan bahwa Rusia bisa jadi David yang merobohkan Goliath Belanda.
Dan apa yang saya cemaskan terjadi di lapangan. Tim Oranje tidak mampu mengembangkan permainan mereka. Rusia dengan penuh percaya diri memainkan posession football dan tanpa ragu-ragu menekan Belanda saat kehilangan bola, bertarung dan berusaha memenangkannya kembali. Pertahanan Belanda pun ditelanjangi kerapuhannya. Hanya karena Edwin van der Saar sajalah Belanda masih bisa menyelamatkan muka di 90 menit waktu normal. Tapi, seorang Edwin van der Saar tidak mampu menyelamatkan Belanda sendirian tanpa dukungan yang cukup. Dan lagu lama Hollanda yang sudah saya dengar setiap dua tahun sekali kembali terngiang. Belanda tersisih lagi.
Minggu sore kemarin, saya menuju Stadion Lebakbulus untuk menonton teman-teman saya bertanding. Di perjalanan dengan taksi, Pak Supir mengajak saya ngobrol soal Piala Eropa di saat saya sungguh tidak ingin membicarakannya. Apa daya, karena Pak Supir sudah lanjut usia dan ramah, saya pun dengan malas bercampur tak tega menanggapi. Setelah beberapa lama, dia rupanya paham juga saya kurang berminat dan akhirnya menyetel radio. Bagus, mendingan dengerin radio, pikir saya. Namun, ternyata dengan lucunya stasiun radio yang dia pilih sedang membahas kekalahan Belanda dari Rusia. Sungguh menyebalkan.
Bunga tulip jingga saya sudah kering sekarang. Dan rupanya, saya memang masih harus menunggu lagi pesta kembang api ulangan tahun 1988. Ya sudah, tidak apa-apa. Saya sudah mulai terbiasa. Kini, saatnya kembali menikmati pesta sepakbola secara netral. Tapi, saya harap Rusia juara tahun ini. Saya sungguh berharap mereka yang memenangkan piala Henri Delaunay itu. Bukan karena pelatih mereka orang Belanda. Bukan karena saya suka tim-tim underdog. Bukan itu. Saya mau mereka juara karena alasan yang sederhana saja: Agar saya bisa bilang bahwa Belanda kalah di tangan tim yang akhirnya juara.
Jadi, ayo Rusia! Inggris, Yunani, Swedia, dan Belanda sudah kalian taklukkan. Tuntaskan hingga ke final!
Tetap: Oranje Boven!
Seringkali saya mempertanyakan kewarasan saya sendiri kalau memikirkan betapa kuat ikatan emosi yang saya miliki dengan dua tim sepakbola dunia: Liverpool FC dan Belanda. Saya bukan penduduk pribumi Liverpool dan jelas bukan pula warga negara Belanda. Ketika saya lebih muda dulu, emosi saya mudah sekali dipengaruhi hasil pertandingan sepakbola tim-tim yang saya dukung. Saat menang, saya senang dan menyenangkan orang lain. Saat kalah, saya sedih dan bisa menjadi orang paling menyebalkan sedunia. Dan gilanya, saya perempuan. Perempuan harusnya sedih karena bertengkar dengan kekasih atau putus cinta. Well, itu juga bikin saya sedih dulu; tapi, sepakbola punya efek psikologis yang sama parahnya. Entah mengapa harus segitunya.
Dua puluh tahun yang lalu saya bersorak histeris bersama seluruh negeri Belanda, pendukung timnas Belanda di dunia, Rinus Michels, Marco Van Basten, Ruud Gullit, Hans Van Breukelen, Ronald Koeman, Frank Rijkaard, dan seluruh pemain Belanda saat mereka juara Piala Eropa. Lalu sepuluh tahun kemudian, airmata saya menjadi bagian sungai kesedihan di dataran rendah Hollanda saat Marc Overmaars menangis dan Belanda terhenti di semifinal Piala Dunia. Lantas sekarang apa?
Tidak ada airmata untuk Belanda minggu pagi kemarin. Entah mengapa, saya sudah jauh-jauh hari berpikir Belanda tidak akan berprestasi bagus di Euro 2008 ini. Dari sisi undian grup yang jauh dari menguntungkan saja sudah membuat saya tidak bernafsu berkhayal terlalu tinggi. Belum lagi secara teknis, tim Belanda tahun ini sebenarnya sangat rapuh secara defensif. Orang-orang yang tidak mengikuti bagaimana Belanda menjalani babak kualifikasi mungkin akan teperdaya begitu Belanda bisa memenangkan pertandingan melawan Italia dan Perancis. Tapi, tidak saya. Italia dan Perancis mengijinkan Belanda bermain sesuai keinginan mereka, mencoba melayani permainan mereka dan gagal. Romania bahkan membiarkan Belanda melakukan apa saja tanpa banyak usaha untuk mencegah Belanda memenangkan pertandingan. Tidak ada yang berusaha menihilkan permainan Belanda. Namun, saat peluit panjang di Berne, Swiss ditiup menandai kesempurnaan kiprah Belanda di fase grup, saya berpikir bahwa semua ini terlalu mudah.
Keesokan hari sesudahnya, saya mengikuti pertandingan Rusia melawan Swedia dengan ketertarikan yang besar. Sejak menonton pertandingan Rusia melawan Spanyol, saya berpendapat Rusia sebenarnya menampilkan permainan menyerang dan cepat yang atraktif - khas tim besutan Guus Hiddink. Hanya demam panggung saja yang membuat pertahanan mereka bobol terlalu gampang saat itu, dan tidak adanya satu nama yang saya tak kenali: Andrei Arshavin. Ya, saya memang meremehkan UEFA Cup dan tidak peduli dimenangkan oleh Zenith St Petersburg dengan membantai Bayern Munich 4-0 di semifinal dan Glasgow Rangers 2-0 di final. Akibatnya, saya tidak kenal siapa Arshavin.
Anyway, saya benar-benar tidak dikecewakan menonton partai Swedia vs Rusia. Rusia bermain rapi saat bertahan dan menyerang. Mereka tidak membiarkan pemain-pemain Swedia berkembang permainannya dan dengan efektif mampu meredam permainan Swedia yang konon secara teknis lebih diunggulkan dan secara fisik pun rata-rata lebih tinggi besar dibandingkan para pemain Rusia. Di samping itu, yang saya kagumi adalah determinasi mereka untuk bertarung dan merebut bola, lalu dengan cepat berbalik dari bertahan ke menyerang dengan serangan balik yang mematikan. Mereka memang berhak menang atas Swedia dan Arshavin memang sosok orkestrator serangan Rusia yang menjadi kartu As Hiddink.
Dan saya pun termangu. Ini bukan lawan yang semula saya harapkan di perempat final untuk tim Oranje saya. Guus Hiddink saja tanpa kualitas yang memadai tidak akan cukup untuk meredam Belanda. Namun, Guus Hiddink dengan sekumpulan pemain yang punya kualitas teknis yang cukup dan determinasi yang tinggi, sungguh bukan kombinasi yang akan menguntungkan Belanda. Dengan cemas, saya mengirimkan SMS dan YM sana-sini untuk mencari teman yang bisa meruntuhkan ketakutan saya soal Rusia. Kebanyakan orang tidak memandang Rusia sebagai lawan sebanding. Namun, otak dan hati saya seperti sepakat mengatakan bahwa Rusia bisa jadi David yang merobohkan Goliath Belanda.
Dan apa yang saya cemaskan terjadi di lapangan. Tim Oranje tidak mampu mengembangkan permainan mereka. Rusia dengan penuh percaya diri memainkan posession football dan tanpa ragu-ragu menekan Belanda saat kehilangan bola, bertarung dan berusaha memenangkannya kembali. Pertahanan Belanda pun ditelanjangi kerapuhannya. Hanya karena Edwin van der Saar sajalah Belanda masih bisa menyelamatkan muka di 90 menit waktu normal. Tapi, seorang Edwin van der Saar tidak mampu menyelamatkan Belanda sendirian tanpa dukungan yang cukup. Dan lagu lama Hollanda yang sudah saya dengar setiap dua tahun sekali kembali terngiang. Belanda tersisih lagi.
Minggu sore kemarin, saya menuju Stadion Lebakbulus untuk menonton teman-teman saya bertanding. Di perjalanan dengan taksi, Pak Supir mengajak saya ngobrol soal Piala Eropa di saat saya sungguh tidak ingin membicarakannya. Apa daya, karena Pak Supir sudah lanjut usia dan ramah, saya pun dengan malas bercampur tak tega menanggapi. Setelah beberapa lama, dia rupanya paham juga saya kurang berminat dan akhirnya menyetel radio. Bagus, mendingan dengerin radio, pikir saya. Namun, ternyata dengan lucunya stasiun radio yang dia pilih sedang membahas kekalahan Belanda dari Rusia. Sungguh menyebalkan.
Bunga tulip jingga saya sudah kering sekarang. Dan rupanya, saya memang masih harus menunggu lagi pesta kembang api ulangan tahun 1988. Ya sudah, tidak apa-apa. Saya sudah mulai terbiasa. Kini, saatnya kembali menikmati pesta sepakbola secara netral. Tapi, saya harap Rusia juara tahun ini. Saya sungguh berharap mereka yang memenangkan piala Henri Delaunay itu. Bukan karena pelatih mereka orang Belanda. Bukan karena saya suka tim-tim underdog. Bukan itu. Saya mau mereka juara karena alasan yang sederhana saja: Agar saya bisa bilang bahwa Belanda kalah di tangan tim yang akhirnya juara.
Jadi, ayo Rusia! Inggris, Yunani, Swedia, dan Belanda sudah kalian taklukkan. Tuntaskan hingga ke final!
Tetap: Oranje Boven!
No comments:
Post a Comment